JAKARTA, KOMPAS - Kualitas dan akurasi daftar pemilih mesti terus dijaga untuk menjamin hak pemilih sekaligus menjaga legitimasi Pemilu 2019. Penyelenggara pemilu didorong terus untuk memperbaiki daftar pemilih tetap guna membersihkan data pemilih itu dari data tidak akurat ataupun data fiktif.
Terkait dengan validitas daftar pemilih tetap (DPT) ini, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Senin (11/3/2019), mendatangi kantor KPU di Jakarta guna melaporkan adanya 17,5 juta data DPT yang dinilai tidak wajar ke KPU. Data itu telah mereka laporkan sejak 15 Desember 2018, dan file kopiannya dalam bentuk digital telah diserahkan pada 1 Maret 2019.
Hadir mewakili BPN Prabowo-Sandi antara lain Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo, Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria, anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Yunus Yosfiah, dan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Panjaitan. Mereka diterima Ketua KPU Arief Budiman dan anggota KPU Viryan Aziz.
Dalam laporannya, BPN mencatat 17,5 juta DPT yang dinilai tidak wajar itu ditemukan dalam nama-nama orang yang lahir di tanggal dan bulan yang sama. Data tak wajar itu ditemukan pada warga yang lahir 1 Juli mencapai 9,8 juta jiwa, lalu warga yang lahir 31 Desember 5,3 juta orang, dan warga yang lahir pada 1 Januari sebanyak 2,3 juta.
”Data ini kami anggap tidak wajar karena menurut grafik tim kami, tanggal kelahiran untuk pemilih lain jumlahnya berkisar 400.000-500.000 orang. Tetapi, mengapa pada tanggal-tanggal itu ada lompatan jumlah pemilih yang luar biasa, sampai 10-20 kali lipat jika dibandingkan dengan tanggal lainnya?” tanya Ahmad Riza Patria.
BPN juga melaporkan adanya data sekitar 300.000 pemilih berumur di atas 90 tahun dan pemilih di bawah umur 17 tahun yang berjumlah 20.475 orang. BPN juga mencatat ratusan orang berada dalam satu kartu keluarga di Banyuwangi, Jawa Timur.
Hashim mengatakan, laporan BPN diterima positif oleh KPU. BPN dan KPU sepakat untuk menyisir DPT yang dicurigai tidak wajar itu. ”Kami akan mengecek di lapangan secara random bersama dengan KPU,” katanya.
Viryan Aziz mengatakan, pihaknya telah mengonfirmasikan data dari BPN itu ke Direktorat Jenderal Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri. KPU mendapatkan data berupa daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) dari Kemendagri.
”Mengapa data semacam ini muncul, informasi yang kami terima, itu adalah hasil dari pencatatan di bawah. Misalnya, pada saat ada pendataan administrasi kependudukan, pemilih tidak ingat tanggal lahirnya berapa, bulan apa, lalu disamakan tanggal dan bulan lahirnya. Maka, ada yang tanggal 1 Juli, 31 Desember, dan 1 Januari. Pada pemilu sebelumnya juga seperti ini,” katanya.
Upaya penyisiran yang mungkin dilakukan KPU dan BPN, lanjut Viryan, adalah dengan mengambil sampel pemilih tertentu. KPU juga akan menyandingkan data kependudukan dengan DPT.
Bukan fiktif
Dirjen Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh menuturkan, kasus ini mulai terjadi sejak Kemendagri menggunakan Sistem Informasi Manajemen Kependudukan tahun 1996. Saat itu, semua penduduk yang lupa atau tidak mengetahui pasti tanggal lahirnya ditulis 31 Desember dan 1 Juli.
Namun, sejak diberlakukan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan pada 2004, penduduk yang tidak ingat tanggal lahirnya ditulis 1 Juli. Jika penduduk itu ingat bulan tetapi tidak ingat tanggal lahir, ditulis tanggal 15. Kebijakan ini diperkuat dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2010. ”Jadi, di database memang banyak (tanggal lahir) seperti itu. Secara sistem dan data memang betul terjadi dan diatur di Permendagri,” kata Zudan.
Terkait hal itu, Zudan meminta masyarakat tidak mengkhawatirkan hal itu sebagai lubang kecurangan pada Pemilu 2019.