JAKARTA, KOMPAS — Kematian dini udang mulai merebak di beberapa wilayah sentra produksi. Dibutuhkan upaya penanganan segera agar penyakit tersebut tidak meluas dan mengancam produksi udang nasional.
Ketua Shrimp Club Indonesia (SCI) Jawa Barat Joko Sasongko mengemukakan, pihaknya sedang menelusuri penyebab kematian massal udang dalam waktu kurang dari 30 hari di beberapa lokasi di pantai utara Jabar.
Sebelumnya, sejak 2010, penyakit EMS berkembang di Vietnam, Malaysia, dan ke Thailand. Penyakit tersebut membuat kematian massal udang hanya dalam waktu 20-30 hari setelah tebar sehingga mengakibatkan produksi udang anjlok. Penyakit tersebut diduga terjadi karena serangan acute hepatopancreatic necrotic disease (AHPND).
”Ada baiknya kita waspada, jangan sampai wabah EMS atau AHPND seperti Thailand masuk ke Indonesia. Bagaimanapun kematian udang pada awal proses budidaya bisa dikategorikan EMS,” kata Joko saat dihubungi Kompas di Jakarta, Senin (11/3/2019).
Ia menambahkan, kematian udang pada awal masa budidaya kerap disebut akibat white spot. Di lain pihak, penyebaran penyakit sulit terpantau karena petambak cenderung berdiam diri jika menghadapi serangan penyakit. Sementara itu, keterbatasan alat uji laboratorium menyebabkan sulit mengetahui adanya indikasi penyakit lain.
Pembudidaya dan pemerintah dinilai perlu belajar dari berkembangnya penyakit kotoran putih (white feces) dan myo (IMNV) yang sempat meluas di Indonesia karena lambannya penanganan. ”Apabila tidak kita antisipasi dari awal, produksi udang nasional menjadi taruhannya. Diperlukan kerja sama pemerintah dan petambak untuk mengatasi dan mengantisipasi penyebaran penyakit kematian dini,” katanya.
Pengambilan sampel penyakit telah dilakukan dan dalam tahap pengujian laboratorium.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Soebjakto mengemukakan, kematian dini udang dipicu oleh benih dan pakan yang terkontaminasi penyakit serta manajemen lingkungan tambak yang buruk. Sejauh ini, serangan penyakit terjadi pada beberapa lokasi tambak, antara lain di Medan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat.
Pengambilan sampel penyakit telah dilakukan dan dalam tahap pengujian laboratorium. Indikasi awal, kematian udang disebabkan beberapa jenis penyakit, seperti kotoran putih (white feces), bintik putih (white spot), AHPND, dan myo (IMNV). Pemerintah telah bekerja sama dengan SCI dan Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) untuk menelusuri sumber benur (benih udang) dan pakan udang.
”Potensi penyakit udang sedang dipetakan. Sejauh ini (penyakit) belum mengarah ke EMS. Kalau penyakit EMS cenderung mewabah, sedangkan penyakit ini masih tersebar pada beberapa titik,” katanya.
Slamet menambahkan, pihaknya telah melarang penggunaan induk yang bersumber dari tambak-tambak masyarakat ataupun pembenihan rakyat yang tidak bersertifikasi karena berpotensi terserang penyakit. Induk yang digunakan wajib merupakan indukan impor yang bebas penyakit, induk lokal dari pembenihan skala besar ataupun balai-balai budidaya ikan milik pemerintah yang telah bersertifikasi.
Adapun tambak udang yang sudah terserang penyakit wajib diisolasi agar tidak menyebarkan benih dan indukan berpenyakit ke wilayah lain. ”Tambak yang terserang penyakit wajib dikeringkan hingga dua bulan untuk meminimalisasi penyakit,” kata Slamet.
Pihaknya terus mendorong pembukaan tambak-tambak udang baru di lingkungan yang masih bagus dengan manajemen kawasan tambak lebih terkontrol baik. Tahun 2019, pemerintah menargetkan pembukaan tambak baru mencapai 2.000 hektar.