Kesetaraan Jender di Dunia Pers Tingkatkan Kualitas Pemberitaan
Oleh
Ayu Pratiwi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Keseimbangan jender di seluruh bidang profesi dan kegiatan lainnya, termasuk di dunia kerja jurnalistik, penting dalam membangun masyarakat yang lebih kuat dan sejahtera. Jurnalisme yang menjaga kesetaraan dapat meningkatkan keterwakilan berbagai pihak dalam pemberitaan.
Selain itu, kesetaraan jender dalam jurnalisme dapat meningkatkan dan memastikan semua aspirasi dan pendapat dapat didengar. Keseimbangan jender di seluruh bidang dengannya dapat mendukung dan memperkuat demokrasi.
Wakil Dubes Amerika Serikat untuk Indonesia, Heather Variava, menyampaikan hal tersebut saat membuka acara diskusi tentang perjuangan jurnalis perempuan di Indonesia di Jakarta, Selasa (12/3/2019). Acara tersebut dalam rangka merayakan Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2019.
"Kesetaraan jender bukan hanya isu kaum perempuan. Ketika perempuan berpartisipasi, seluruh masyarakat merasakan manfaatnya. Kedubes AS mendukung pers yang bebas dan peran perempuan dalam jurnalisme," kata Heather yang sebelumnya pernah bekerja sebagai jurnalis di AS.
Bagi Variava, media memiliki peran penting dalam memastikan transparansi, memberitakan ketidakadilan, dan memberdayakan masyarakat dengan informasi yang akurat. "Meningkatkan kesetaraan jender dalam jurnalisme dapat meningkatkan keterwakilan semua pihak dalam pemberitaan. Hal tersebut meningkatkan demokrasi," ucap Heather.
Wartawan olahraga sebuah media nasional, Hana Farhana Fauzie, mengatakan, kesetaraan jender dalam pers di Indonesia sudah cukup baik. "Saya salut pada pers Indonesia karena tidak membedakan perempuan dan pria di lapangan. Kita dinilai berdasarkan kemampuan kita," tuturnya.
Diskriminasi terhadap perempuan di bidang pers, menurut Hana, lebih dirasakan ketika ia bertugas di luar negeri. Saat meliput Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan misalnya, ia pernah merasa direndahkan oleh seorang petugas karena jurnalisme di sana lebih dianggap sebagai profesi maskulin.
"Saat antre mengambil tiket pertandingan, seorang petugas yang badannya jauh lebih besar dari, mengangkat saya, dan saya ditaruh ke samping. Dengan alasan, saya perempuan dan tidak berhak berada di sini," kata Hana.
Kejadian tersebut menjadi pelajaran bagi Hana bahwa ketidakadilan terhadap perempuan wartawan, secara umum, masih terjadi. "Sebagai wartawan, kita harus memiliki passion, dapat berempati, memiliki rasa penasaran, dan berinovasi. Ini yang membuat kita menjadi wartawan yang jauh lebih baik," tambah Hana.
Rasa empati
Nilai-nilai yang disebutkan Hana turut mendorong Maria Rita Hasugian, Editor dari Tempo yang sebelumnya banyak meliputi daerah-daerah konflik. "Profesi kita ini tidak pernah dianggap oleh perempuan karena sangat menakutkan. Rasa empati lah yang membawa saya (untuk meliput) ke daerah konflik," ucap Maria yang telah menjadi wartawan sejak masa Orde Baru.
Di Indonesia, lanjut Maria, prosedur operasi standar atau SOP untuk meliput di daerah konflik belum ada, sehingga ia harus banyak belajar sendiri bagaimana meliput di daerah konflik.
"Saya, begitu selesai liputan (di daerah konflik), langsung ke hotel yang paling tidak disukai orang. Saya selalu memilih tidur dekat pintu, karena kalau ada apa-apa (lebih gampang untuk melarikan diri). Semua alat liputan juga harus diselamatkan. Kita punya kepedulian (terhadap rakyat yang menderita), sehingga kita kalahkan rasa takut itu," tutur Maria.
Dukungan keluarga
Sependapat dengan Maria, Lastri Berry Wijaya, pewarta foto kantor berita Agence France-Presse (AFP) Biro Jakarta, mengatakan, ia belajar sendiri untuk mahir menggunakan kamera dan menjadi jurnalis fotografi profesional. Perempuan yang lebih dikenal dengan nama Adek Berry itu tidak memiliki latar belakang pendidikan jurnalistik. Ia kuliah di Universitas Negeri Jember, jurusan Teknologi Pertanian.
"Saya belajar fotografi secara otodidak. Saya belajar dengan benar-benar. Kini, saya bisa mengajar orang lain dan bisa menjadi seperti fotografer profesional lain yang lulusan jurnalistik fotografi," kata Adek Berry.
Seperti Maria, ia juga banyak meliput daerah-daerah konflik. Untungnya, keluarganya sangat mendukungnya dan tidak menghambatnya untuk melakukan pekerjaan yang ia sukai. Kepercayaan keluarganya itu ia peroleh dengan menunjukkan kepada mereka bahwa ia mampu.
"Saat remaja, sangat sulit untuk mendapatkan izin dari keluarga untuk mendaki gunung misalnya. Tetapi, saya tunjukkan bahwa saya bisa dan mampu. Saat pulang, saya tidak menangis atau pun menunjukkan kepada orang tua bahwa saya kesakitan," ucap Adek Berry.