JAKARTA, KOMPAS — Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meminta semua pihak menghentikan upaya delegitimasi terhadap Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu. Segala bentuk saran dan kritik terhadap penyelenggara serta pengawas pemilu itu hendaknya disampaikan secara proporsional.
”Saya kira perlu distop (upaya delegitimasi penyelenggara pemilu). Yang ada unsur mengambinghitamkan KPU dan Bawaslu itu adalah sesuatu hal yang menurut saya tidak tepat,” ujar Tjahjo di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta, Selasa (12/3/2019).
Pernyataan Tjahjo tersebut menanggapi hasil survei yang dilakukan lembaga riset Saiful Mujani Research and Consulting pada 24 hingga 31 Januari 2019. Survei tersebut menunjukkan, 13 persen dari total 190 juta pemegang hak pilih atau sekitar 25 juta warga menyatakan KPU tidak netral dalam penyelenggaraan Pemilihan Presiden 2019.
Survei melibatkan 1.620 responden yang dipilih secara random di seluruh Indonesia dengan tingkat kesalahan (margin of error) sebesar 2,65 persen.
Menurut Tjahjo, dukungan atau kritik terhadap KPU dan Bawaslu merupakan suatu kewajaran dalam proses demokrasi. Meski demikian, penyampaian aspirasi itu tidak perlu sampai menyudutkan kedua instansi tersebut.
”Dengan adanya kelompok atau perorangan yang sudutkan KPU dan Bawaslu itu yang seharusnya tidak perlu dilakukan. Apalagi sampai demo di depan KPU. Kalau ada masukan, saran, saya kira KPU membuka diri atau bisa lewat pemerintah,” tutur Tjahjo.
Bukan fiktif
Berkaitan dengan laporan 17,5 juta pemilih di daftar pemilih tetap untuk Pemilu 2019 yang dinilai tidak wajar oleh Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno ke KPU, Senin (11/3/2019), Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh menampik penilaian BPN Prabowo-Sandi tersebut.
Dia pun menegaskan, belasan juta pemilih yang dinilai tidak wajar itu merupakan pemilih riil atau betul-betul ada, bukan pemilih fiktif.
Zudan menjelaskan, yang dianggap tidak wajar oleh BPN Prabowo-Sandi itu sebenarnya sudah ada sejak Kemendagri menggunakan Sistem Informasi Manajemen Kependudukan tahun 1996. Saat itu, semua penduduk yang lupa atau tidak mengetahui pasti tanggal lahirnya ditulis 31 Desember dan 1 Juli.
Namun, sejak diberlakukan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan pada 2004, penduduk yang tidak ingat tanggal lahirnya ditulis 1 Juli. Jika penduduk itu ingat bulan, tetapi tidak ingat tanggal lahir, ditulis tanggal 15. Kebijakan ini diperkuat dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2010.
Terkait tingginya angka kelahiran pada tanggal 1 Januari, lanjut Zudan, kemungkinan itu karena banyak orang menginginkan lahir di awal tahun.
”Mungkin banyak orang ingin tanggal lahirnya tanggal 1 Januari, bisa jadi. Atau lahir tanggal 25 Desember, tetapi ngakunya tanggal 1 Januari. Kan, kita enggak tahu. Apalagi, yang lahir di desa-desa, kami tak tahu lahir kapan. Kami hanya mencatat apa yang mereka sampaikan,” tuturnya.
Zudan pun memastikan bahwa tak ada data penduduk yang fiktif dalam DP4 Kemendagri. Oleh karena itu, dia meminta masyarakat tidak khawatir terhadap pelaporan beberapa waktu lalu oleh BPN Prabowo Subianto-Sandiaga Uno terkait keberadaan data kependudukan yang dinilai tidak wajar itu.
”Tidak perlu khawatir. Memang seperti itu keberadaan datanya. Mari kita semua masyarakat terima fakta administrasi kependudukan kita begitu,” katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, BPN Prabowo-Sandi menyebut, 17,5 juta pemilih dalam DPT yang dinilai tidak wajar itu ditemukan dalam nama-nama orang yang lahir pada tanggal dan bulan yang sama. Data tak wajar itu ditemukan pada warga yang lahir 1 Juli mencapai 9,8 juta jiwa, warga yang lahir 31 Desember 5,3 juta orang, dan warga yang lahir pada 1 Januari sebanyak 2,3 juta jiwa.
Selain itu, BPN melaporkan adanya data sekitar 300.000 pemilih berumur di atas 90 tahun dan pemilih di bawah umur 17 tahun yang berjumlah 20.475 orang. BPN juga mencatat ratusan orang berada dalam satu kartu keluarga di Banyuwangi, Jawa Timur.