Maraknya pembalakan liar di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan tak mendapatkan prioritas pengawasan dan penanggulangan. Akibatnya, negara kehilangan potensi pendapatan Rp 16 miliar per bulan dari banyaknya kayu alam dicuri.
Oleh
Irma Tambunan
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Maraknya pembalakan liar di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan tak mendapatkan prioritas pengawasan dan penanggulangan. Akibatnya, negara kehilangan potensi pendapatan Rp 16 miliar per bulan dari banyaknya kayu alam dicuri.
Kepala Seksi Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah III Sumatera Dodi Kurniawan menyebutkan, kayu-kayu itu dengan leluasa dicuri dari sejumlah kawasan hutan negara mulai dari Hutan Harapan, Hutan Lalan Mangsang Mendis, hutan konservasi dan produksi Dangku-Meranti, hingga eks Hutan Tanaman Industri Padeco.
Banyak pihak bermain, mulai dari oknum perangkat dan kepala desa, polisi, tentara, hingga petugas dinas kehutanan setempat. Ada oknum yang berperan memodali pencurian kayu, menyediakan kendaraan angkut, memalsukan dokumen pengangkutan kayu, hingga menampung kayu-kayu curian itu.
”Aktivitas liar di wilayah itu sudah sangat parah situasinya, tetapi justru tidak mendapatkan prioritas penanganan dari satuan kerja terkait,” ujar Dodi, Senin (11/3/2019).
Aktivitas liar di wilayah itu sudah sangat parah situasinya, tetapi justru tidak mendapatkan prioritas penanganan dari satuan kerja terkait.
Hasil investigasi timnya sepanjang 2016 hingga 2018 lalu mendapati banyaknya kayu ilegal yang keluar dari kawasan hutan sekitar 1.000 meter kubik setiap pekan. Sebagian besar kayu singgah ke industri pengolahan di wilayah Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Pihaknya sempat mendapati 60-an usaha pengolahan menampung kayu-kayu curian di hilir sungai, tak jauh dari lokasi pembalakan. Tahun 2017, pihaknya tiga kali menggelar operasi. Para pelaku terbukti mengangkut kayu hasil curian. Dokumen yang mereka miliki semuanya palsu. Mereka pun telah divonis penjara 2 tahun 6 bulan serta denda Rp 1,5 miliar. Salah satu pelaku dari kalangan korporasi pun dipaksa untuk menutup usahanya.
Tahun 2018, vonis serupa diberikan kepada seorang pelaku dengan hukuman 1,5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.
Penegakan hukum telah diupayakan. Namun, menurut dia, belum cukup mengendalikan aktivitas liar tersebut. Yang terpenting diperkuat adalah pengamanan di hutan dan pengawasan di tingkat industri. ”Kalau hanya mengandalkan tim gakkum bekerja, tidak akan mungkin teratasi. Justru pengawasan yang lebih diperlukan,” ujarnya.
Sebagaimana diberitakan Kompas, Senin, kayu-kayu curian menumpuk di tepi-tepi sungai di batas Jambi-Sumsel. Mulai dari Sungai Meranti, Sungai Kapas, hingga Bataghari. Banyak pula yang dirakit di permukaan sungai. Diperkirakan lebih dari 1.000 meter kubik volume kayu yang tengah dialirkan sepanjang permukaan ketiga sungai itu.
Namun, Kepala Unit Satuan Khusus Polisi Kehutanan Reaksi Cepat Jambi M Hafis menyatakan belum mengetahui informasi maraknya kembali pembalakan liar di wilayah itu. Dalam setahun terakhir juga tidak ada operasi penanggulangan di sana.
Manajer Perlindungan Hutan Harapan Damanik mengatakan, laporan hasil pemetaan soal praktik liar itu sudah dilakukan tahun 2017. Hasilnya pun sudah disampaikan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Banyuasin, Dishut Provinsi Jambi, Dishut Provinsi Sumsel, dan juga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dalam dokumen pemetaan disebutkan aktor-aktor lengkap dengan peran-perannya dalam pembalakan liar di sana. Oknum kepala desa di wilayah Sako Suban, misalnya, diketahui menerbitkan surat keterangan asal-usul (SKAU) kayu hasil curian untuk menjamin kelancaran pengangkutan kayu ke luar desa. Sejumlah tokoh masyarakat dan aparat penegak hukum juga disebut-sebut memodali pembalakan liar itu. Mereka memanfaatkan komunitas adat setempat, warga suku Batin Sembilan, untuk menjadi pekerja.
Tim merekomendasikan sejumlah poin, di antaranya soal perlunya pencegahan lewat pembentukan tim terpadu pencegahan kerusakan hutan, sosialisasi pada masyarakat sekitar, dan membangun pos-pos di sejumlah titik strategis, hingga memutus rantai pasar. Selain itu, agar diupayakan penegakan hukum kepada para aktor yang bermain.