Di seberang Istana Merdeka, di sisi barat laut Monumen Nasional, Jakarta, sejumlah peternak membagikan ayam hidup secara cuma-cuma kepada pemulung, petugas kebersihan, dan siapa saja yang kebetulan melintas, Selasa (5/3/2019). Aksi itu menjadi bentuk protes atas rendahnya harga jual ayam yang terus turun sejak Oktober 2018.
Selama 21 bulan dari total 38 bulan sejak Januari 2016 hingga Februari 2019, menurut data Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia, harga rata-rata bulanan ayam hidup di tingkat peternak rakyat berada di bawah ongkos produksi. Artinya, peternak hanya menikmati sedikit untung pada 17 bulan sisanya.
Harga jual ayam selama Januari-Februari 2019, misalnya, rata-rata Rp 18.111 per kilogram (kg) bobot hidup. Padahal, ongkos produksinya Rp 19.884 per kg. Situasi serupa telah berulang hingga memukul peternak rakyat mandiri yang umumnya bermodal cekak.
Perhimpunan Peternak Unggas Nasional (PPUN) Bogor mencatat, pada tahun 2014, jumlah peternak unggas rakyat mandiri yang bergabung dalam asosiasi mencapai 135 peternak. Namun, kini jumlahnya tinggal 27 peternak. Kondisi serupa terjadi di sentra produksi lain, seperti Lampung.
Pinsar Indonesia, PPUN, dan Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN) mengidentifikasi ada sejumlah faktor penyebab situasi itu. Pertama, ada persaingan usaha tidak sehat. Regulasi, yakni Undang-Undang 18 Tahun 2009 tentang Peternakan, dinilai telah membuka peluang itu. Perusahaan besar yang menguasai bibit, pakan, dan obat, yang dikenal dengan sebutan integrator, bisa membudidayakan ayam di hilir.
Integrator juga memasarkan ayamnya di pasar tradisional yang sebelumnya jadi ”area kekuasaan” peternak rakyat. Ibarat olahraga tinju, petinju dari kelas berbeda bertanding di ring yang sama, yakni pasar yang diperkirakan menyerap 80 persen pangsa pasar ayam hidup. Hasilnya, peperangan jadi tak seimbang, peternak rakyat tersingkir ke pinggir.
Ibarat olahraga tinju, petinju dari kelas berbeda bertanding di ring yang sama.
Dengan struktur biaya yang lebih efisien, ayam produksi integrator lebih murah. Menurut perhitungan sejumlah organisasi itu, harga pokok produksi di peternak rakyat berkisar Rp 19.500-Rp 20.000 per kg, sementara di perusahaan besar Rp 15.500-Rp 16.000 per kg.
Kedua, problem pengaturan pasokan dan distribusi bibit serta produksi ayam. Permintaan daging ayam memang fluktuatif. Namun, pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian, semestinya bisa memprediksi dan mengatur produksi agar tetap seimbang dengan permintaan. Dengan demikian, harga ayam di tingkat peternak dan konsumen lebih stabil.
Ketiga, ongkos produksi terus naik, terutama harga pakan yang dominan dalam struktur produksi ayam. Sepanjang tahun 2018, harga pakan telah enam kali naik dengan total kenaikan Rp 850 per kg. Sementara harga ayam umur sehari (DOC) naik delapan kali dengan total kenaikan Rp 1.595 per DOC sepanjang tahun lalu.
Sesuai amanat Pasal 29 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009, pemerintah wajib melindungi usaha peternakan dalam negeri dari persaingan tidak sehat di antara pelaku pasar. Peternak juga menuntut pemerintah menurunkan harga sarana-prasarana produksi dan mengendalikan produksi. Peternak rakyat mandiri tidak ingin semakin tersenak atau terdesak.