Pembalakan liar di kawasan hutan negara perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan memprihatinkan. Akibatnya, negara kehilangan potensi pendapatan Rp 16 miliar per bulan.
JAMBI, KOMPAS— Maraknya pembalakan liar di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan menyebabkan negara kehilangan potensi pendapatan Rp 16 miliar per bulan dari banyaknya kayu alam yang dicuri. Banyak pihak bermain. Di sisi lain, hal itu tidak mendapat prioritas pengawasan dan penanggulangan dari pihak terkait di lapangan.
Kepala Seksi Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wilayah III Sumatera Dodi Kurniawan menuturkan, kayu dicuri dengan leluasa dari sejumlah kawasan hutan negara, mulai dari Hutan Harapan, Hutan Lalan Mangsang Mendis, Hutan Konservasi dan Produksi Dangku-Meranti, hingga eks Hutan Tanaman Industri Padeco.
Banyak pihak bermain, mulai dari oknum perangkat dan kepala desa, polisi, tentara, hingga petugas dinas kehutanan setempat. Ada yang berperan memodali pencurian kayu, menyediakan kendaraan angkut, memalsukan dokumen pengangkutan kayu, hingga menampung kayu curian itu.
”Aktivitas liar di wilayah itu sudah sangat parah situasinya, tetapi justru tidak mendapatkan prioritas penanganan dari satuan kerja terkait,” ujar Dodi, Senin (11/3/2019).
Hasil investigasi tim KLHK Wilayah III sepanjang tahun 2016 hingga 2018 mendapati, jumlah kayu ilegal yang keluar dari kawasan hutan sekitar 1.000 meter kubik setiap pekan. Sebagian besar kayu singgah ke industri pengolahan di wilayah Musi Banyuasin, Sumsel.
Menurut Dodi, timnya mendapati 60-an usaha pengolahan menampung kayu-kayu curian di hilir sungai, tak jauh dari lokasi pembalakan. Tahun 2017, pihaknya tiga kali menggelar operasi.
Dari proses hukum, para pelaku terbukti mengangkut kayu hasil curian. Dokumen yang mereka miliki seluruhnya palsu. Para pelaku divonis 2 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 1,5 miliar. Salah satu pelaku dari kalangan korporasi dipaksa menutup usahanya.
Tahun 2018, vonis serupa diberikan kepada seorang pelaku dengan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta.
Perkuat pengamanan
Penegakan hukum yang telah diupayakan, menurut Dodi, belum cukup mengendalikan aktivitas pembalakan liar. Karena itu, yang penting diperkuat adalah pengamanan di hutan dan pengawasan di tingkat industri.
”Kalau hanya mengandalkan tim Gakkum bekerja, tidak mungkin teratasi. Justru pengawasan yang lebih diperlukan,” katanya.
Sebagaimana diberitakan Kompas, Senin, kayu curian menumpuk di tepi-tepi sungai di perbatasan Jambi-Sumsel, mulai dari Sungai Meranti, Sungai Kapas, hingga Sungai Batanghari. Banyak pula yang telah dirakit di permukaan sungai.
Lebih dari 1.000 meter kubik kayu diperkirakan tengah dialirkan di sepanjang permukaan tiga sungai itu. Dihubungi terpisah, Kepala Unit Satuan Khusus Polisi Kehutanan Reaksi Cepat Jambi M Hafis menyatakan belum mengetahui informasi maraknya kembali pembalakan liar di wilayah itu. Dalam setahun terakhir tidak ada operasi penanggulangan di sana.
Ada pemetaan
Manajer Perlindungan Hutan Harapan Damanik mengatakan, laporan hasil pemetaan terkait pembalakan liar sudah dilakukan tahun 2017. Hasilnya sudah disampaikan ke Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Banyuasin, Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Dinas Kehutanan Provinsi Sumsel, dan KLHK.
Dalam dokumen pemetaan dipaparkan secara lengkap aktor-aktor dan perannya dalam pembalakan liar. Oknum kepala desa di wilayah Sako Suban, misalnya, diketahui menerbitkan surat keterangan asal-usul (SKAU) kayu hasil curian untuk menjamin kelancaran pengangkutan kayu ke luar desa.
Sejumlah tokoh masyarakat dan aparat penegak hukum juga disebut-sebut memodali pembalakan liar itu. Mereka memanfaatkan komunitas adat setempat, warga suku Batin Sembilan menjadi pekerja.
Tim merekomendasikan sejumlah poin, di antaranya perlunya pencegahan lewat pembentukan tim terpadu pencegahan kerusakan hutan, sosialisasi kepada masyarakat sekitar, membangun pos di sejumlah titik strategis, dan memutus rantai pasar. Selain itu, diupayakan juga penegakan hukum kepada para pelaku. (ITA)