JAKARTA, KOMPAS – Peredaran narkotika dan zat adiktif lainnya di Indonesia tidak pernah berkurang meskipun berbagai usaha pemberantasan dilakukan Badan Narkotika Nasional dan polisi. Untuk memperluas skala pemberantasan narkoba, BNN dan polisi memerlukan revisi atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan aturan pendukungnya.
Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional Inspektur Jenderal Arman Depari, Selasa (13/3/2019) di Jakarta mengatakan, salah satu materi revisi yang perlu dilakukan adalah kemudahan untuk memasukkan jenis narkoba baru ke dalam aturan hukum. Selama ini, baru terdapat 8 dari 74 jenis narkoba baru yang terdaftar di aturan pendukung UU Narkotika.
“Instrumen UU Narkotika yang BNN gunakan masih terdapat banyak kelemahan. Seperti penggolongan narkoba yang belum mengikuti perkembangan zaman. Sekarang banyak bermunculan jenis narkoba baru di Indonesia. Dengan UU sekarang, kita tidak bisa serta merta melakukan penindakan,” kata Arman.
Selain itu, kata Arman, penegakan hukum belum memberikan efek jera meski ada hukuman seumur hidup. Sementara kewenangan BNN sangat terbatas di penindakan atau penyidikan kasus narkotika.
Selain jenis narkoba baru dan hukuman yang belum memberi efek jera, permasalahan yang dihadapi BNN adalah tentang pencucian uang dari kasus-kasus narkoba. Arman mengatakan, perlu UU Narkotika yang kuat agar BNN dan penegak hukum lain bisa menyita aset dan rekening sehingga para pelaku kejahatan ini tidak mampu lagi membiayai operasi narkoba. “Artinya mereka harus dimiskinkan,” kata Arman.
Sementara itu, sepanjang tahun 2019 Badan Narkotika Nasional telah memusnahkan barang bukti narkotika dalam jumlah yang besar. Untuk kedua kalinya pada tahun 2019 BNN memusnahkan barang bukti narkoba berupa ganja seberat 1,3 Ton, sabu seberat 18,6 Kilogram dan ekstasi sebanyak 19.080 butir, di Jakarta (12/3/2019).
Pemusnahan barang bukti narkoba yang dilakukan di halaman parkir BNN, Cawang, Jakarta Timur, menggunakan mesin insinerator. Selain pemusnahan barang bukti, dilakukan juga pemeriksaan laboratorium dan pembuktian perkara.
Kepala BNN Komisaris Jenderal Heru Winarko mengatakan, pengungkapan kasus narkoba merupakan hasil penangkapan di Bogor (Jawa Barat), Berau (Kalimantan Timur), Nunukan (Kalimantan Utara), Medan (Sumatera Utara), dan Ibu Kota Jakarta.
“Berbagai modus dilakukan pelaku untuk melancarkan aksi penyeludupan. Namun, berhasil digagalkan sehingga memutus penyalahgunaan narkoba di kalangan generasi muda,” kata Heru.
Sebelumnya, Jumat (1/3/2019), BNN memusnahkan 99,7 kilogram sabu, 9.990 butir ekstasi, dan 118,34 kilogram daun khat kering dalam 8 dus yang dikirim dari Etiopia, Afrika Timur.
Khat (Catha edulis) merupakan tanaman yang daun segarnya dijadikan kudapan karena menimbulkan efek stimulans dan memicu ketagihan. Tanaman ini tumbuh di kawasan Afrika Timur, seperti Somalia dan Semenanjung Arab.
Heru berpendapat, pemusnahan narkoba sepanjang tahun 2019 serta pengungkapan peredaran narkoba harus berlandaskan kekuatan Undang-Undang Narkotika. Pemusnahan narkoba itu tidak akan menghentikan sindikat narkoba yang menyasar generasi muda Indonesia jika pemerintah dan DPR tidak segera memperkuat regulasi penegakan hukum.
Sindikat
Penguatan regulasi penegakan hukum terhadap kasus narkoba juga menyangkut para sindikat narkoba. Arman mengatakan, sindikat yang beroperasi di Indonesia tidak selalu sama. Sindikat itu terdiri atas berbagai jaringan.
“Jaringan inilah yang kemudian diungkap oleh BNN dari waktu ke waktu. Seperti tahun lalu, BNN mengungkap 80 jaringan. Tahun ini saya kira sudah ada sekitar 15 jaringan. Penungkapan jaringan ini nanti akan berkelanjutan,” kata Arman.
Arman melanjutkan, sindikat narkoba yang ditemukan BNN di Indonesia atau yang selama ini berhasil terungkap hanya terdiri atas 3 lapisan yaitu, bandar, pengedar, dan pemakai.
Padahal, untuk jaringan narkoba, sindikat narkoba paling tidak terdiri dari 5 lapisan, terdiri atas master mind, produsen, bandar, pelaku-pelaku di lapangan (pengedar), dan pemakai.
Bandar menerima dan mengumpulkan barang dari produsen. Melalui bandar, narkoba akan didistribusikan kepada pengedar di seluruh Indonesia. Pengedar berperan turun dan langsung mengedarkan kepada masyarakat.
“Sindikat itu adalah jaringan-jaringan yang sebenarnya tidak lengkap. Karena sebagian narkoba yang masuk ke Indonesia berasal dari luar negeri atau orang asing. Oleh karena itu, jaringan atau sindikat narkoba di Indonesia pada umumnya adalah bagian dari sindikat internasional,”
Armand berpendapat, untuk mengungkap kasus besar (sindikat) mutlak diperlukan kerja sama internasional. Indonesia harus bekerja sama dengan negara-negara, terutama dari sumber narkoba yang diselundupkan ke tanah air.
“BNN selama ini hanya berhasil menangani bagian hilir. Sedangkan hulunya, baik master mind, produsen, siapa yang mengendalikan, siapa yang mengatur keuangannnya, sampai kepada pengiriman-pengirimannya. Nah, ini yang agak sulit kita sentuh, terutama karena adanya perbedaan hukum antara negara-negara yang bersangkutan, termasuk Indonesia dengan Eropa, misalnya,” tutur Arman.
Armand mengatakan, hal tersebut adalah salah satu hambatan untuk melakukan pengungkapan sindikat secara utuh dan menyeluruh. Banyak sindikat yang beroperasi di Indonesia berasal dari Eropa, Tiongkok, Taiwan, Malaysia, Thailand, Myanmar, Vietnam dan negara lainnya. Tiongkok dan Myanmar adalah pemasok terbesar sabu dan metamfitamin ke Indonesia. Sementara Malaysia menjadi tempat transit narkoba terbanyak masuk ke Indonesia.
Saat ini, BNN berkordinasi dengan negara-negara tetangga, terutama ASEAN, dalam upaya memerangi, menemukan, menangkap dan membawa mereka ke pengadilan.
“Sindikat internasional biasanya merekrut orang-orang yang satu negara. Di sindikat lokal, juga mereka biasanya merekrut satu komunitas. Bahkan, yang terakhir ditemukan, ada sindikat dan jaringan lembaga pemasyarakatan (lapas). Mereka melibatkan seluruh keluarganya. Orang tuanya, menantunya, anaknya, saudaranya. Ini adalah ciri khas sindikat,” kata Arman.
Menurut arman, para sindikat dan jaringan narkoba berpikir lapas tidak diawasi oleh petugas BNN dan kepolisian. Lapas selalu diawasi dan dijaga, tetapi ternyata mereka merasa lebih bebas dan memiliki alat-alat yang diperlukan untuk bisa tetap berkomunikasi dan melakukan transaksi.
“Regulasi penegakan hukum dan revisi Undang-Undang Narkotika perlu dikaji ulang untuk memberantas narkoba,” lanjutnya. (AGUIDO ADRI)