JAKARTA, KOMPAS — Lebih dari 20.000 penderita penyakit ginjal kronis belum mendapatkan akses layanan kesehatan. Jumlah penderitanya terus meningkat sekalipun penyakit ini tidak menular. Oleh sebab itu, perlu deteksi dini dan pencegahan dengan pola hidup sehat untuk menghindarinya.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, persentase penyakit ginjal kronis (PGK) masih tinggi, yakni 3,8 persen. Jumlah tersebut mengalami kenaikan sebesar 1,8 persen dari tahun 2013.
Ketua Umum Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) Aida Lydia, Rabu (13/3/2019), di Jakarta, mengatakan, tingginya prevalensi PGK belum diimbangi dengan akses pelayanan yang tercukupi bagi penderitanya.
”Diperkirakan 20.000 lebih penderita PGK belum mendapatkan akses layanan kesehatan,” kata Aida dalam konferensi pers peringatan Hari Ginjal Sedunia, Rabu.
Hari Ginjal Sedunia diperingati setiap Kamis minggu kedua Maret. Pada peringatan tahun ini, dipilih tema ”Ginjal Sehat untuk Setiap Orang di Mana Saja”.
Aida menyebutkan, penderita PGK belum mendapatkan akses layanan kesehatan yang memadai karena kurangnya tenaga kesehatan profesional. Di Indonesia, hanya 131 dokter spesialis ginjal di tengah meningkatnya jumlah penderita PGK.
Berdasarkan survei berbasis populasi pada 2009, melalui pendataan terhadap 12.000 orang di empat area urban dan semiurban, prevalensi PGK mencapai 12,5 persen. Aida memperkirakan, prevalensi PGK saat ini lebih tinggi dari data Riskesdas.
Sementara itu, data Indonesian Renal Registry (IRR) 2017 menunjukkan, jumlah pasien aktif yang menjalani hemodialisis atau yang dikenal dengan cuci darah ada 77.892 orang dan pasien baru sebanyak 30.843 orang. IRR memperkirakan, prevalensi PGK rata-rata berkisar 400-452 per juta penduduk.
Untuk menangani jumlah pasien PGK yang terus meningkat tersebut, kolaborasi dengan dokter penyakit dalam dan dokter umum pun dilakukan. Aida berharap, penderita PGK di daerah terpencil dapat terlayani dengan baik.
Biaya mahal
PGK berada di urutan kedua pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional untuk penyakit katastropik atau penyakit yang membutuhkan biaya mahal dan mengancam jiwa.
Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Rujukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Budi Mohamad Arief mengatakan, jumlah pembiayaan untuk gagal ginjal di bawah penyakit jantung dan di atas kanker.
Pada 2018, terdapat 1.784.962 kasus gagal ginjal yang ditangani BPJS Kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang menghabiskan biaya sebesar Rp 2,3 triliun. Sejak 2014 hingga 2018, biaya yang dikeluarkan untuk penyakit gagal ginjal sebesar Rp 13 triliun.
”Gagal ginjal menyumbang 17 persen dari total biaya untuk penyakit katastropik,” kata Budi.
Untuk menekan biaya pengobatan penyakit gagal ginjal, ia berharap penderita mulai mengunakan pengobatan CAPD (continuous ambulatory peritoneal dialysis).
Ia menjelaskan, pengobatan melalui CAPD lebih efektif dan efisien daripada melalui cuci darah. Budi mengatakan, jasa pelayanan CAPD dibayarkan sebesar Rp 7,5 juta per bulan sebagai tarif non-INA-CBG’s (besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan).
Koordinator Pernefri Wilayah Jakarta dan Sekitarnya Tunggul Diapari Situmorang mengatakan, CAPD mudah dilakukan dan dapat dilakukan di mana saja sehingga dapat mengurangi biaya yang dikeluarkan. ”CAPD merupakan tahap awal pengobatan,” ujarnya.
Ia menjelaskan, pasien akan diberikan prosedur dalam melakukan CAPD. Pasien hanya perlu memasukkan cairan ke dalam perut. Namun, CAPD tidak cocok digunakan setelah operasi atau mengalami penyakit kulit.
Pencegahan
Aida menyarankan agar setiap orang melakukan deteksi dini terhadap penyakit ginjal. ”Penyakit ginjal dapat berkembang menjadi gagal ginjal tahap akhir jika tidak tertangani dengan baik dan menyebabkan berbagai komplikasi hingga kematian,” ucapnya.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Cut Putri Arianie mengatakan, beberapa faktor risiko penyakit gagal ginjal ialah merokok, obesitas atau kelebihan berat badan, tekanan darah tinggi, gula darah tinggi, alkohol, kurang aktivitas fisik, dan pola makan tidak sehat.
Cut mengatakan, sebagai bentuk pencegahan, pemerintah aktif melakukan promosi kesehatan. Ia mengimbau pemerintah daerah aktif dalam kegiatan promosi ini. Selain itu, setiap kementerian dapat bekerja sama untuk mengendalikan faktor risiko penyakit ginjal.
Ia juga berharap masyarakat dapat melakukan deteksi dini dengan datang ke pos pembinaan terpadu (posbindu). Selain itu, masyarakat juga diimbau ikut menjaga kesehatan sebagai upaya pencegahan faktor risiko penyakit ginjal.