Berbagai upaya penanggulangan tuberkulosis yang dilakukan belum memuaskan hasilnya. Karena itu, UGM menginisiasi program Zero Tuberculosis Yogyakarta.
SLEMAN, KOMPAS — Upaya komprehensif untuk menurunkan jumlah kasus tuberkulosis secara signifikan diinisiasi Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada melalui program Zero Tuberculosis Yogyakarta. Program itu dijalankan di dua kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta, yakni Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo.
”Kami akan melakukan upaya yang komprehensif untuk menemukan (pasien), mengobati, dan mencegah penularan tuberkulosis,” kata Koordinator Zero Tuberculosis Yogyakarta Rina Triasih dalam soft launching Zero Tuberculosis Yogyakarta, Selasa (12/3/2019), di Kampus Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM, Kabupaten Sleman.
Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2018, jumlah penderita tuberkulosis di Indonesia diperkirakan 842.000 orang. Pada 2030, Indonesia menargetkan kasus tuberkulosis bisa turun 80 persen dan kematian akibat tuberkulosis turun 90 persen dibandingkan dengan 2014.
Menurut Rina, berbagai upaya untuk menurunkan kasus tuberkulosis oleh sejumlah pihak belum mencapai hasil maksimal. Penyebabnya, upaya penanggulangan belum komprehensif, masif, dan intensif.
Program yang diinisiasi Pusat Kedokteran Tropis FKKMK UGM ini selain menemukan dan mengobati pasien hingga sembuh juga memberikan pengobatan pencegahan kepada mereka yang rentan tertular tuberkulosis. Salah satu kelompok yang berisiko tertular tuberkulosis adalah orang yang memiliki anggota keluarga dengan penyakit tuberkulosis.
Rina mengatakan, dalam program Zero Tuberculosis Yogyakarta, pencarian kasus tuberkulosis akan difokuskan pada wilayah-wilayah yang padat penduduk dan institusi pendidikan dengan sistem asrama. Tempat-tempat itu dinilai berisiko tinggi menjadi lokasi penularan tuberkulosis.
Rina menyatakan, program Zero Tuberculosis Yogyakarta akan dijalankan selama lima tahun. Program itu ditargetkan bisa menurunkan kasus tuberkulosis di Kota Yogyakarta dan Kulon Progo hingga 50 persen. Data dinas kesehatan setempat, pada 2017, jumlah kasus tuberkulosis di Kota Yogyakarta 943 kasus, sedangkan di Kulon Progo ada 112 kasus.
Program Zero Tuberculosis Yogyakarta mendapat dukungan Pemkot Yogyakarta dan Pemkab Kulon Progo. ”TB kompleks karena berkaitan dengan masalah sosial ekonomi, kemiskinan, permukiman, dan pendidikan,” kata Rina.
Sejumlah kendala
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kulon Progo Baning Rahayujati mengatakan, pihaknya sudah menjalankan berbagai upaya untuk menanggulangi tuberkulosis di Kulon Progo.
Salah satunya memberikan peralatan, obat-obatan, dan sumber daya manusia yang memadai ke puskesmas sehingga semua puskesmas di Kulon Progo mampu mendiagnosis dan mengobati tuberkulosis.
Pemkab Kulon Progo menjalin kerja sama dengan rumah sakit swasta serta organisasi kemasyarakatan Aisyiyah dalam penanggulangan tuberkulosis.
Salah satu masalah di Kulon Progo adalah sulitnya penemuan penderita tuberkulosis. Selain itu, sejumlah pasien tidak konsisten menjalani pengobatan sehingga mereka tidak sembuh. Pengobatan tak konsisten itu juga menyebabkan meningkatnya jumlah kasus tuberkulosis yang resisten obat.
”Jadi, kami sangat mendukung program Zero Tuberculosis Yogyakarta,” ujar Baning. Staf Ahli Wali Kota Yogyakarta Bidang Kesejahteraan Rakyat Wirawan Hario Yudho mengatakan, Pemkot Yogyakarta siap mendukung program Zero Tuberculosis Yogyakarta.
Dalam pelaksanaan program, Pemkot Yogyakarta siap melibatkan instansi lintas sektor dan berbagai elemen masyarakat. ”Masalah ini tidak bisa diselesaikan bidang kesehatan saja, tetapi harus bekerja sama dengan seluruh komponen,” katanya. (HRS)