Hutan Kalimantan Kaya Tanaman Obat
Kekayaan tanaman obat di hutan Kalimantan perlu dilestarikan dan pemanfaatannya dioptimalkan. Optimalisasi kekayaan hayati itu dimulai dengan identifikasi dan riset yang memadai.
PONTIANAK, KOMPAS Kalimantan memiliki hutan tropis yang subur sehingga kaya dengan berbagai tumbuhan, termasuk tanaman obat. Ratusan spesies tanaman obat di Kalimantan teridentifikasi dapat digunakan untuk menyembuhkan sejumlah penyakit, antara lain malaria, diabetes, demam, dan peradangan usus.
Hampir di 14 kabupaten dan kota di Kalimantan Barat terdapat tanaman obat hutan. Di Desa Semunying Jaya, Kabupaten Bengkayang, misalnya, tanaman obat ada di hutan di sekitar permukiman penduduk. Pengobatan tradisional yang memanfaatkan tanaman obat dari hutan juga masih berjalan karena masih ada sesepuh kampung yang memahami jenis-jenis tanaman, khasiat, dan cara pengobatannya.
Sebagai contoh, tanaman obat akar kemidan untuk antimalaria. ”Akarnya diiris tipis. Setelah itu dimasukkan dalam bambu dan disiram air panas, lalu dipanggang ke api beberapa menit, setelah itu diminum,” ujar Engkalek (63), warga Dayak Iban di Desa Semunying Jaya yang dikenal memiliki kemampuan meracik obat alam.
Daun tanaman akar kemidan juga mengandung khasiat obat untuk menurunkan panas demam. Daun itu dipanaskan dengan api, setelah itu ditempelkan ke sekitar rusuk atas sebelah kiri. Ada pula tanaman akar engkait yang berkhasiat menyembuhkan batuk.
Tanaman obat juga ditemui di Kampung Sabunga, Kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak, Kalbar. Salah satunya tanaman sangkang ular yang berkhasiat membersihkan kotoran dalam tubuh. Tanaman ini biasa dikonsumsi ibu-ibu setempat sehabis bersalin.
Yohana Lisi (59), penduduk Dayak Kanayatn yang memiliki kemampuan meracik obat hutan, menjelaskan, akar sangkang ular dicincang dan dijemur, lantas diseduh dengan air hangat. Air seduhan itulah yang lalu diminum.
Untuk penyembuhan luka, warga Kampung Sabunga biasa menggunakan kulit kayu leban. Kulit kayu itu dicincang dan direndam ke air hangat, lalu ditempelkan ke luka.
Pengajar dan peneliti tumbuhan obat Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura (Untan), Pontianak, Yeni Mariani, mengatakan, hasil penelitian tim dosen Untan pada 2011, setidaknya ada 208 spesies tanaman obat yang teridentifikasi di Kalbar. Di luar itu masih banyak yang belum teridentifikasi.
Sebagai gambaran, subetnis Dayak di Kalbar ada 158 subsuku. Mereka masing-masing memiliki pengetahuan dan tradisi pengobatan memanfaatkan tanaman di hutan. Di subsuku Dayak Uud Danum, misalnya, ada sekitar 100 tanaman obat yang diidentifikasi.
Tanaman yang dikenal masyarakat setempat dengan tekeriho, kerokak, dan bungur, misalnya, biasa digunakan subsuku Dayak Uud Danum untuk mengobati gatal-gatal. Lalu daun kayu ulin biasa digunakan untuk mengobati demam, peradangan usus, dan sakit perut. Tanaman obat itu juga digunakan masyarakat di Kecamatan Ambalau, Kabupaten Sintang.
Pengajar dan peneliti tumbuhan obat Fakultas Kehutanan Untan lainnya, Fathul Yusro, menjelaskan, ada 33 spesies tanaman obat yang berkhasiat menyembuhkan demam.
Selain itu, ada 10 spesies yang biasa digunakan untuk menyembuhkan malaria, di antaranya putar wali yang dimanfaatkan oleh subsuku Dayak Kanayatn, kulit langsat oleh Dayak Darok/Kembayan, papaya (Dayak Iban), limpet dan adun tamar basi (Dayak Kanayatn), menjaban dan pula akar pahit (Dayak Bukat/Kapuas Hulu), serta daun kelampai dan temu akar (Dayak Iban).
Ada pula tanaman pelanjau yang bisa mengobati keputihan, seriawan, dan ruam. Tanaman itu juga bisa untuk obat penyakit kulit karena mampu menghambat pertumbuhan jamur.
Di Kalimantan Tengah, hasil penelitian Borneo Nature Foundation (BNF) menyebutkan, sedikitnya 200 jenis tanaman obat teridentifikasi di kawasan Sebangau, Kota Palangkaraya. Sejumlah 100 jenis di antaranya hanya bisa ditemukan di hutan primer.
Peneliti asal Spanyol yang juga Direktur Pelaksana BNF, Bernat Ripoll, mengungkapkan, ada hubungan yang erat antara tanaman obat dan kehidupan masyarakat Dayak. Satu hal yang disayangkan, keberadaan kawasan hutan primer yang menjadi habitat sebagian tanaman obat itu kian tergerus oleh alih fungsi lahan.
Sementara itu, berdasarkan penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 2007 di Taman Nasional Sebangau meliputi Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas, terdapat 147 jenis tanaman obat yang digunakan di 11 desa yang tinggal di sekeliling taman nasional itu. Dari penelitian itu diketahui bahwa di setiap desa, jenis tanaman yang sama bisa memiliki pengolahan dan pemahaman khasiat yang berbeda.
Dibudidayakan
Di Kalimantan, warga yang masih memanfaatkan tanaman obat alam rata-rata berada di daerah yang belum terjangkau layanan kesehatan seperti puskesmas.
Kalaupun ada puskesmas, jarak tempuhnya terlalu jauh dan butuh usaha ekstra untuk menjangkaunya karena akses jalan belum memadai. Di tengah keterbatasan itu, obat alam menjadi pilihan mereka.
Meski keberadaan tanaman obat di Kalimantan itu sebagian besar bergantung pada habitatnya di hutan, ada sekelompok warga yang sengaja membudidayakan tanaman obat. Selain demi alasan kesehatan, tanaman obat itu dikemas dan dipasarkan sehingga memiliki nilai ekonomis.
Salah satunya tanaman bawang Dayak dan mengkudu yang dibudidayakan warga Desa Sidodadi dan Desa Gandang Barat di Kecamatan Maliku, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
Dua jenis tanaman obat yang mampu menurunkan kolesterol dan mencegah berbagai jenis kanker itu dikemas dalam bentuk bubuk kopi dan teh. Produk mereka bahkan sudah dipasarkan hingga ke Palangkaraya.
Kedua desa tersebut merupakan desa transmigrasi yang berjarak sekitar 150 kilometer dari Kota Palangkaraya, dengan waktu tempuh sekitar empat jam.
Pada awalnya mereka tidak memahami kegunaan bawang Dayak. Mereka mendapatkan pengetahuan khasiat tanaman obat itu dari masyarakat lokal, yang kemudian dikembangkan menjadi produk yang memiliki nilai ekonomis.
”Saya sudah coba sendiri. Kolesterol saya tinggi saat periksa di puskesmas. Saya tidak minum obat biasa. Saya rutin minum teh bawang sehari dua kali, kolesterol saya turun dalam seminggu,” kata Tuginem (47), warga Desa Sidodadi.
Bawang Dayak, atau yang biasa disebut bawang lemba oleh masyarakat Dayak, berwarna merah, dagingnya lebih besar dan lebih tebal dibanding bawang merah. Bentuk daun jauh berbeda dari daun bawang biasa. Daun bawang Dayak lebih mirip daun pandan.
Di Desa Sidodadi, pemerintah desa melalui ibu-ibu PKK membuat demplot tanaman bawang Dayak dan mengkudu di dekat kantor desa. Setelah itu hampir setiap rumah menanam tanaman obat tersebut. Setelah diolah dan dikemas, produk kopi mengkudu dan kopi atau teh bawang Dayak dijual Rp 25.000 per 100 gram.
Perhatian pemerintah
Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Kalteng Ayonni Rizal mengatakan, tanaman obat menjadi perhatian pemerintah.
Pada 2018, pemerintah membentuk tim lintas sektoral untuk melestarikan, menyosialisasikan, dan membudidayakan tanaman obat. Meski demikian, upaya itu masih terkendala belum tersedianya laboratorium khusus untuk meneliti.
”Semua penelitian kandungan dan lainnya dilakukan di Jakarta atau Bogor. Itu yang membuat proses identifikasi menjadi lama,” kata Ayonni.
Ditemui di Jakarta, Direktur Pelayanan Kesehatan Tradisional Kementerian Kesehatan Ina Rosalina mengatakan, potensi tanaman obat di Indonesia sangat besar. Hampir setiap daerah memiliki tanaman dan ramuan obat alam yang khas. ”Sampai saat ini pengobatan tradisional banyak dimanfaatkan masyarakat,” katanya.
Riset Tanaman Obat dan Jamu 2017 yang dilakukan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Kementerian Kesehatan mencatat, ada 11.218 tanaman obat yang ditemukan di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, sebanyak 9.516 tanaman telah teridentifikasi.
Dari riset itu, tanaman obat yang paling banyak digunakan dalam ramuan adalah kunyit (Curcuma longa) yang digunakan pada 371 ramuan, jahe (Zingiber officinale) pada 261 ramuan, jambu biji (Psidium guajava) pada 183 ramuan, sirih (Piper betle) pada 177 ramuan, dan mengkudu (Morinda citrifolia) pada 145 ramuan.
Sayang, potensi ini belum dipandang serius sebagai kekayaan yang perlu dilestarikan. Pelestarian dan budidaya tumbuhan obat belum menjadi fokus pemerintah, baik pusat maupun daerah. Sementara hutan yang menjadi tempat habitat sebagian tanaman obat juga menghadapi tantangan alih fungsi lahan. (ESA/IDO/TAN)