Kesetaraan Jender Menggerakkan Perekonomian Negara
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mewujudkan kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan di tempat kerja masih menghadapi banyak tantangan. Padahal jika kesetaraan dan pemberdayaan itu terwujud, bisa menjadi penggerak yang kuat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, di Jakarta, Rabu (13/3/2019), mengatakan, tingkat partisipasi angkatan tenaga kerja perempuan masih jauh tertinggal dibandingkan laki-laki. Angka tingkat partisipasi perempuan hanya sekitar 54 persen, sedangkan laki-laki mencapai sekitar 83 persen.
Begitu pula halnya dengan upah yang diterima oleh perempuan. “Rata-rata gaji perempuan lebih rendah 32 persen dibandingkan laki-laki,” kata Sri di sela-sela acara peringatan Hari Perempuan Internasional di Bursa Efek Indonesia.
Menurutnya, kondisi itu dipicu oleh anggapan bahwa perempuan kurang berkontribusi di tempat kerjanya. Anggapan itu diperkuat oleh banyaknya kendala secara fisik yang dihadapi perempuan.
Padahal, sejumlah penelitian telah menunjukkan, kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan merupakan penggerak yang kuat dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Untuk mengatasi anggapan keliru tentang perempuan itu, Sri melanjutkan, pemerintah telah menyusun banyak program. Prinsip kesetaraan jender bahkan telah dimasukkan ke dalam perencanaan pembangunan.
Pemerintah juga telah mengarusutamakan kesetaraan jender dalam anggaran dan memperbaiki hal-hal yang bisa mendorong kesetaraan itu, di kantor-kantor pemerintahan. Prinsipnya, perempuan diberikan kesempatan yang sama dan suasana yang nyaman agar ikut maju dalam menjalankan kariernya.
“Isu kesetaraan jender adalah strategis dalam kacamata pembangunan, perekonomian, dan (sosial) masyarakat. Suatu negara akan jauh lebih resilience (jika berhasil menerapkannya),” ujar Sri.
Presiden Indonesia Coalition for Women Empowerment (IBCWE) Shinta Kamdani mengatakan, selain masalah partisipasi dan upah, masalah jenjang karier, fasilitas, dan keamanan masih dihadapi oleh perempuan di tempat kerja.
Dari segi jenjang karier misalnya, masih minim keberadaan perempuan di antara jajaran pimpinan perusahaan.
“Kalau dilihat, perempuan lebih jarang yang meniti karier ke level yang lebih tinggi. Kalau di tingkat pimpinan, persentasenya semakin ke atas semakin sedikit. Di jajaran direktur, paling hanya sekitar lima persen,” kata Shinta yang juga menjabat Wakil Ketua Umum KADIN.
Dari segi fasilitas, ruang laktasi misalnya, belum dimiliki oleh semua perusahaan. Sementara itu, dari segi keamanan, belum semua perusahaan menyediakan mekanisme pelaporan ketika perempuan mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Akibatnya, banyak perempuan takut melapor karena khawatir mempengaruhi karier mereka.
“Makanya kita ada sertifikasi di tempat kerja. Namanya sertifikat EDGE, yaitu Economic Dividends for Gender Equality. Jadi kalau perusahaan punya sertifikasi itu bisa dilihat apa saja yang harus dilakukan dan telah dilakukan untuk mencapai level itu,” ujar Shinta.
Perwakilan UN Women Sabine Machl menguatkan pernyataan Sri Mulyani, bahwa ekonomi berkembang ketika ada lebih banyak partisipasi perempuan dalam dunia kerja. Oleh karena itu, norma positif dan inklusif yang memastikan adanya lingkungan pendukung bagi perempuan sangat penting dilakukan.
“Hanya dengan ini perempuan dapat berkontribusi sepenuhnya dalam ekonomi, komunitas, dan bisnis,” katanya. (YOLA SASTRA)