Aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau di Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, masih terus terjadi. Hal itu memicu peningkatan ketinggian Anak Krakatau di Selat Sunda
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau di Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, masih terus terjadi. Hal itu memicu peningkatan ketinggian Anak Krakatau di Selat Sunda.
Berdasarkan data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, saat ini ketinggian Anak Krakatau di Selat Sunda 156,9 meter di atas permukaan laut. Sebelumnya, pasca-erupsi pada 18 Februari 2019, ketinggian Anak Krakatau 155 mdpl.
Menurut Andi Suardi, Kepala Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau (GAK) di Desa Hargopancuran, Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan, Lampung, pengukuran terbaru Anak Krakatau dilakukan pada 8 Maret 2019. Pengukuran itu dilakukan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.
”Saat ini, gempa tremor masih terjadi. Anak Krakatau terus membangun tubuhnya,” kata Andi saat dihubungi dari Bandar Lampung, Rabu (13/3/2019).
Saat ini, gempa tremor masih terjadi. Anak Krakatau terus membangun tubuhnya.
Pada 26-27 Desember 2018, Anak Krakatau mengalami erupsi besar. Saat itu, sebagian material ikut terletuskan dan sebagian longsor. Akibatnya, ketinggian Anak Krakatau berkurang dari 338 mdpl menjadi 110 mdpl. Seiring dengan aktivitasnya, ketinggian Anak Krakatau kembali meningkat.
Menurut Andi, pada Rabu siang, aktivitas Gunung Anak Krakatau yang berstatus Waspada itu cukup tenang. Meski demikian, Anak Krakatau terus mengalami tremor dengan amplitudo 1-3 mm. Adapun aktivitas kegempaan terekam dengan frekuensi rendah, amplitudo 6 mm dengan durasi 5 detik.
Anak Krakatau terpantau cukup aktif pada 18-23 Februari 2019. Selama kurun waktu tersebut, gunung api itu terpantau mengalami erupsi. Pada Sabtu (23/2/2019), misalnya, letusan Anak Krakatau menimbulkan kolom abu setinggi 500 meter dari atas puncak gunung.
Cagar alam
Kepala Seksi Wilayah III Lampung Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu Teguh Ismail mengatakan, pasca-erupsi, BKSDA telah melakukan patroli di sekitar Kepulauan Krakatau untuk mengetahui kondisi cagar alamnya. Dari hasil pantauan, keanekaragaman hayati yang semula terdapat di Gunung Anak Krakatau musnah.
”Dari pantauan kami, tidak ada kehidupan. Tanaman dan satwa, seperti biawak, yang semula terlihat di Anak Krakatau kini tidak ada,” kata Teguh.
Dari pantauan kami, tidak ada kehidupan. Tanaman dan satwa, seperti biawak, yang semula terlihat di Anak Krakatau kini tidak ada.
Kerusakan juga terpantau di Pulau Panjang dan Pulau Sertung yang berada di dekat GAK. Tanaman di kawasan pantai yang menghadap ke Anak Krakatau mengering akibat terkena material panas. Selain itu, sebagian wilayah pantai juga longsor.
BKSDA juga berencana melakukan patroli ke dalam laut untuk mengetahui kondisi cagar alam di dasar laut. ”Kami terus melakukan patroli, tapi tidak turun langsung ke Gunung Anak Krakatau karena tim mempertimbangkan radius aman sejauh 5 kilometer. Pos pantau milik BKSDA di Pulau Krakatau, Panjang, dan Sertung juga rusak,” kata Teguh.
Kepala Desa Tejang, Pulau Sebesi, Syamsiar menyatakan, warga diberdayakan untuk melakukan siskamling setiap malam. Warga berjaga selama 24 jam secara bergantian. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi bencana jika Anak Krakatau kembali bergejolak pada malam hari.
Sebelumnya, aktivitas Anak Krakatau memicu bencana tsunami Selat Sunda yang merusak kawasan di pesisir Banten dan Lampung. Berdasarkan catatan Kompas, ada 429 korban meninggal akibat bencana tersebut (Kompas, 26/12/2018).
Pasca-tsunami, sebagian besar warga Pulau Sebesi memilih kembali ke rumahnya. Di pulau berpenghuni sekitar 2.800 jiwa itu, hanya sekitar 20 keluarga yang mengungsi karena rumahnya rusak diterjang ombak saat tsunami.