Usia Samsul baru 17 tahun. Ketika anak seusianya duduk tenang belajar di bangku sekolah, ia harus berpeluh mencari rezeki di tengah kerasnya lingkungan pelabuhan.
Selepas tamat sekolah dasar, Samsul tidak melanjutkan sekolah. Pada usia 14 tahun, ia memberanikan diri mengikuti jejak kawannya di kampung untuk merantau ke Jakarta.
Setahun belakangan, Samsul bekerja sebagai sopir odong-odong di Pelabuhan Kaliadem, Penjaringan, Jakarta Utara. ”Saya pernah menjadi buruh bangunan, pernah juga jadi sales kompor,” katanya, Rabu (13/3/2019).
Odong-odong itu merupakan modifikasi dari motor roda tiga yang difungsikan sebagai angkutan kampung. Kendaraan itu mampu menampung 12 orang sekali jalan.
Di gerbang Pelabuhan Kaliadem tempat para sopir odong-odong biasa mengetem, Samsul memang yang termuda.
Namun, hal itu tak menghalangi Samsul bergaul dengan orang-orang di lingkungan itu. Segala cara ia lakukan agar dapat membaur dengan para sopir odong-odong lain.
Samsul mengecat merah rambutnya dan mengenakan dua cincin akik sebesar biji salak di tangan kanannya. Ia juga merokok, tetapi gayanya canggung dan sering terbatuk tanda belum terbiasa.
Penampilan Samsul itu tampak janggal untuk remaja seusianya. ”Agar keliatan lebih tua, Bang. Kalau enggak, nanti dikerjain terus sama sopir lain,” ujar remaja asal Pekalongan, Jawa Tengah, itu yang disambut riuh tawa sopir odong-odong lainnya.
Meskipun Samsul menyatakan telah nyaman dengan pekerjaan sebagai sopir odong-odong, rasa rindu untuk bergaul dengan remaja seusianya terkadang masih datang menyerbu.
”Kalau pas penumpangnya anak sekolahan, kadang pengin juga kayak mereka. Pengin bisa bebas bermain, enggak mikirin gimana caranya membeli makan,” ujar Samsul.
Merantau
Di Pelabuhan Kaliadem, saat ini, setidaknya ada 120 odong-odong lalu lalang setiap hari. Para sopir odong-odong bekerja bergiliran agar angkutan itu dapat beroperasi selama 24 jam.
Mereka diwajibkan menyetor Rp 100.000 per hari kepada pemilik odong-odong. Jika bekerja selama 12 jam, pendapatan bersih mereka lebih kurang sebesar Rp 50.000.
”Sopir odong-odong biasanya orang pesisir utara, merantau ke sini karena tertarik cerita dari kawan-kawan sekampung,” kata Wahyu (28).
Sama seperti Samsul, ia juga datang ke Jakarta saat usianya masih belasan tahun. Putus sekolah dan menjadi buruh kasar adalah nasib yang mereka terima dengan lapang dada.
”Kami merantau bukan (hanya) mencari pekerjaan, melainkan (terutama) karena enggak tahan dibilang bisanya cuma nganggur,” kata sopir odong-odong asal Subang, Ari (24).
Kampung halaman tidak selalu dapat menjadi rumah untuk pulang. Merantau adalah cara mereka menemukan rumah yang sesungguhnya, tempat mereka bebas menjadi diri sendiri tanpa khawatir apa kata orang lain. (PANDU WIYOGA)