SLEMAN, KOMPAS — Upaya mencegah semburan kabar bohong bisa dimulai dari diri sendiri. Hal itu disebabkan semakin intensnya hoaks tersebar melalui media sosial. Literasi media mutlak dilakukan agar orang tidak mudah terjerumus pada informasi yang tidak jelas kebenarannya.
Hal itu terungkap pada diskusi publik berjudul ”Mengelola Kabar Bohong dan Distorsi Informasi dalam Politik Elektoral” di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM), Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (13/3/2019).
”Dalam menghadapi hoaks, saya cenderung memercayai langkah-langkah individual lebih efektif. Hoaks tidak berbahaya selama itu tidak mengganggu pikiran kita. Kuncinya, kabar yang bohong itu tidak kita percayai sebagai sebuah kebenaran,” kata dosen dari Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Abdul Gaffar Karim.
Gaffar menyatakan, dalam menangkal sebaran kabar bohong, yang perlu dilakukan adalah menguatkan setiap individu agar selalu melakukan verifikasi dari informasi yang diterima. Kabar bohong hanya bisa dilawan dengan kecakapan menerima informasi.
”Kita harus menguatkan individunya. Mulai dari komunitas kecil yang bisa saling bekerja sama untuk mencegah orang memercayai informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Imun kita dari hoaks harus dikuatkan dengan mengonfirmasi setiap informasi,” kata Gaffar.
Iqbal Aji Daryono, pegiat media sosial, menyampaikan, semakin tingginya persebaran hoaks, membuat kecakapan dalam menerima informasi itu menjadi kian penting. Konten hoaks lebih mudah diproduksi daripada melakukan verifikasi terhadap kabar bohong yang diterima itu.
”Hoaks tidak butuh data. Hanya butuh waktu 10 menit untuk membuat hoaks. Sementara itu, untuk verifikasi, setidaknya waktu yang dibutuhkan sekitar 6 jam. Tentu ini tidak berimbang antara jumlah dan waktu memverifikasi dari hoaks yang diterima,” kata Iqbal.
Iqbal menyatakan, tidak mudah memerangi hoaks. Kebal terhadap hoaks tidak bisa terjadi dalam sekejap mengingat literasi media masyarakat masih rendah. Upaya literasi media harus dilakukan secara sungguh-sungguh.
”Yang kita hadapi sangat berat dalam menangkal hoaks. Verifikasi data harus selalu didukung. Tetapi, kita juga butuh kemampuan dan usaha yang sangat tinggi agar kebal terhadap hoaks. Hasilnya masih perlu waktu panjang. Tidak bisa dalam jangka pendek,” kata Iqbal.
Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Semarang Yohanes Rasul Edy Purwanto mengatakan, masyarakat harus mengembangkan nalar kritisnya terhadap beragam informasi yang diterimanya. Media sosial jangan dipercaya sebagai sumber informasi utama. Sebelum meyakini berita sebagai sebuah kebenaran, hendaknya dilakukan pengecekan terlebih dahulu.
”Dibaca dengan utuh dan teliti. Bandingkan dan rutin membaca berita dari media yang tepercaya. Jangan sekadar percaya pada apa yang kita konsumsi dari media sosial. Kita juga jangan sampai membagikan atau mengirimkan berita yang tidak kita yakini kebenarannya. Itu mencegah hoaks tersebar,” kata Edy.
Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho menyatakan, sepanjang 2018, terdapat 997 hoaks yang beredar di tengah masyarakat. Sebagian besar hoaks yang beredar bernuansa politik dan SARA. Adapun persebarannya dilakukan melalui berbagai media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Whatsapp.
”Angka itu lumayan tinggi. Kita butuh melakukan verifikasi informasi bersama-sama. Cek kebenaran bersama-sama. Berkolaborasi dengan kawan-kawan dari media massa untuk mengecek fakta. Kita harus melakukan klarifikasi terhadap isu-isu yang meresahkan publik di sana,” kata Septiaji.
Septiaji menambahkan, persoalan mengenai rendahnya literasi media sebenarnya bisa coba ditangani jika orang-orang yang mempunyai kecakapan informasi mau berbagi. Kebiasaan memverifikasi berita harus ditularkan kepada orang lain. Perjumpaan tatap muka membahas secara lebih gamblang mengenai isu-isu yang masih simpang siur juga dapat dilakukan guna memperoleh duduk perkara dari masalah yang ramai diperbincangkan.