Pemenuhan Nutrisi Anak dengan Penyakit Langka Terkendala Biaya
Oleh
Hamzirwan Hamid
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagaimana anak lainnya, anak dengan penyakit langka juga memerlukan nutrisi agar bisa bertumbuh dan berkembang dengan baik. Namun, pemenuhan nutrisi itu menghadapi tantangan karena tingginya biaya untuk mendapatkan orphan food, sumber nutrisi anak dengan penyakit langka. Dukungan pemerintah diharapkan agar anak-anak dengan penyakit langka tidak mengalami malnutrisi.
Ketua Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM) Damayanti Rusli Sjarif di Jakarta, Rabu (13/3/2019), mengatakan, pemenuhan nutrisi bagi anak dengan penyakit langka menjadi tantangan berat sampai saat ini. Biaya untuk mendapatkan orphan food (pangan olahan/formula medis khusus), baik berbentuk susu maupun makanan khusus, sangat tinggi karena tidak diproduksi di dalam negeri dan jumlahnya terbatas.
Menurut Damayanti, harga susu khusus untuk anak dengan penyakit langka bisa jutaan rupiah. Sementara tidak semua orangtua pasien berasal dari kalangan mampu. Selama ini, untuk mendapatkan orphan food, orangtua pasien tidak mampu mengandalkan penggalangan dana.
”Kita berharap orphan food ini bisa ditanggung oleh negara,” kata Damayanti di sela-sela diskusi Bagaimana Mencegah Malnutrisi pada Pasien Penyakit Langka yang diadakan oleh Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI) RSCM.
Penyakit langka adalah penyakit yang jumlah penderitanya kurang dari 2.000 orang dari populasi (Kompas, 27/2/2019). Sekarang ada 6.000-8.000 jenis penyakit langka yang telah dikenali dan diidap oleh sekitar 350 juta orang di dunia. Sekitar 80 persen penyakit langka disebabkan oleh kelainan genetik dan sekitar 50 persen ditemukan pada usia kanak-kanak.
Penyakit langka bersifat kronis, progresif, dan mengancam kehidupan penderitanya. Beberapa penyakit langka yang banyak ditemukan di Indonesia, antara lain mukoplisakaridosis (MPS) tipe II, phenylketonuria (PKU), penyakit gaucher, penyakit pompe, dan fenilketonuria.
Damayanti melanjutkan, upaya untuk mengusulkan orphan food masuk ke formularium nasional agar bisa ditanggung program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah pernah dilakukan. Namun, usulan itu ditolak tahun lalu oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan karena orphan food dianggap sebagai makanan, bukan obat.
Padahal, orphan food bagi pasien penyakit langka ada yang berfungsi sebagai obat dan ada yang sebagai penunjang. Bagi pengidap PKU, kelainan metabolik langka yang menyebabkan tubuh tidak bisa mencerna fenilalanin (dalam protein), misalnya, orphan food berfungsi sebagai obat. Pasien tidak bisa bertahan hidup karena tidak bisa mengonsumsi yang lain selain orphan food.
Meskipun ditolak, Damayanti bersama Yayasan MPS dan Penyakit Dalam serta pihak lainnya berupaya agar orphan food bisa ditanggung negara. Sekarang mereka tengah mengupayakan agar Peraturan Menteri Kesehatan, yang salah satunya isinya mengatur soal orphan food bagi pengidap penyakit langka, bisa segera ditandatangani oleh Menteri Kesehatan Nila F Moeloek.
Hak sama
Ketua Yayasan MPS dan Penyakit Dalam Peni Utami mengatakan, anak dengan penyakit langka punya hak yang sama dengan anak lainnya dalam mendapatkan penanganan medis. Oleh sebab itu, semestinya biaya pengobatannya bisa ditanggung negara meskipun jumlah pasiennya tidak sebanyak penyakit lain.
”Di negara lain, biayanya ditanggung pemerintah. Di Taiwan, misalnya, 80 persen biaya pengobatan, termasuk susu dan makanan khusus, ditanggung pemerintah. Sebanyak 20 persen baru menggunakan biaya sendiri,” kata Peni.
Muhani (40), orangtua Syafa Aulia (7 tahun 6 bulan) yang mengidap batten disease, mengatakan, setiap bulan mesti mengeluarkan Rp 5 juta-Rp 6 juta untuk membeli susu khusus. Harga satu kaleng susu ukuran 300 gram mencapai Rp 400.000 dan hanya cukup untuk dua hari. Untuk memenuhi kebutuhan putrinya itu, Muhani mendapatkan bantuan dari berbagai donatur karena pendapatan suaminya sebagai ojek daring tidak mencukupi.
”Saya berharap pemerintah bisa menanggung biaya pengobatannya karena sangat mahal,” kata perempuan asal Jambi ini.
Kesempatan hidup
Menurut Damayanti, jika ditangani secara baik, anak dengan penyakit langka memiliki kesempatan untuk hidup dan berkarier seperti anak pada umumnya. Oleh sebab itu, menjaga asupan nutrisi selama masa keemasan anak menjadi prasyarat untuk mencapainya.
Damayanti menjelaskan, kecukupan nutrisi anak, termasuk anak dengan penyakit langka, sangat krusial pada dua tahun pertama masa kehidupannya. Sekitar 80 persen pembentukan otak anak berlangsung pada masa itu. Maka, jika nutrisi tidak cukup, yang pertama kali dikorbankan adalah otak anak. Sebanyak 50-60 persen nutrisi pada masa itu digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan otak.
Damayanti pun mencontohkan Rahmania Sashikirana (14) atau Sashi, anak pengidap PKU. Meskipun harus mengonsumsi orphan food dan menjalani diet khusus, Sashi sekarang tumbuh sebagai gadis cerdas dan berprestasi. Tidak terlihat tanda-tanda orang yang sakit pada diri Sashi.
”Anak dengan penyakit langka menjadi apa saja yang dia mau ketika dewasa. Asalkan pasiennya ditangani dan diobati dengan baik,” ujarnya. (YOLA SASTRA)