Pernikahan Anak Mengancam Pendidikan
Perlu sinergi semua pihak untuk mencegah pernikahan anak. Pernikahan anak menyebabkan sejumlah masalah, terutama menghambat pendidikan anak tersebut. Akibatnya, kualitas sumber daya manusia pun rendah.
JAKARTA, KOMPAS — Meski menurun, angka pernikahan anak di Indonesia masih tinggi. Rata-rata 375 anak perempuan di bawah usia 18 tahun menikah setiap hari. Pernikahan anak ini berdampak pada kualitas sumber daya manusia rendah. Pasalnya, sektor yang paling berpengaruh akibat pernikahan anak adalah pendidikan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2018, persentase perempuan usia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun sebesar 11,2 persen. Jumlah ini menurun 3,5 persen dalam kurun waktu 10 tahun.
Persentase perkawinan usia anak tertinggi di Sulawesi Barat sebesar 19,4 persen, sedangkan terendah ada di DKI Jakarta sebesar 4,1 persen. Perempuan umur 20-24 tahun di perdesaan dua kali lebih besar untuk menikah di bawah umur 18 tahun daripada di perkotaan.
Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat BPS Gantjang Amannullah mengatakan, sektor yang paling berpengaruh akibat pernikahan anak adalah pendidikan. BPS mencatat, perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun empat kali lebih kecil dalam menyelesaikan pendidikan SMA ke atas dibandingkan dengan perempuan yang menikah pada usia 18 tahun atau lebih.
”Perempuan yang menikah sebelum 18 tahun, paling banyak hanya menyelesaikan pendidikan SMP atau sederajat, yakni sebesar 44,9 persen. Akibatnya, kualitas sumber daya manusia Indonesia pun rendah,” kata Gantjang dalam seminar bertajuk ”Memaknai Putusan Mahkamah Konstitusi dan Sinergitas dalam Pencegahan Perkawinan Anak” yang diselenggarakan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di Jakarta, Selasa (12/3/2019).
Perempuan yang menikah sebelum 18 tahun paling banyak hanya menyelesaikan pendidikan SMP atau sederajat, yakni sebesar 44,9 persen.
Seminar tersebut diselenggarakan diselenggarakan oleh KPAI dalam rangka Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret. Seminar ini menghadirkan sejumlah pembicara dari kementerian/lembaga yang terkait dengan pencegahan perkawinan anak.
Hambat pembangunan
Selain di sektor pendidikan, pernikahan anak juga menyebabkan permasalahan di bidang kesehatan, kesejahteraan, hingga memicu kasus kekerasan dalam rumah tangga. Pernikahan anak juga menyebabkan kerugian ekonomi setidaknya 1,7 persen dari pendapatan kotor negara (PDB).
Di bidang kesehatan, kata Pelaksana Tugas Direktur Kesehatan Keluarga Dirjen Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Eni Gustiana, komplikasi saat kehamilan dan melahirkan adalah penyebab kematian kedua terbesar untuk anak perempuan berusia 15-19 tahun.
”Mau tunggu apa lagi. Dampak perkawinan anak besar sekali. Tak hanya menghambat upaya penghapusan kekerasan terhadap anak, perkawinan anak menghambat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan serta menghambat pencapaian indeks pembangunan manusia,” ujar Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny N Rosali.
Dampak perkawinan anak besar sekali. Tak hanya menghambat upaya penghapusan kekerasan terhadap anak, perkawinan anak menghambat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan serta menghambat pencapaian indeks pembangunan manusia.
Hal senada dikatakan Gantjang. Jika kasus pernikahan anak tidak diselesaikan secara tuntas, hal itu akan menghambat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Pada target 5.3, pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk menghapuskan semua praktik-praktik berbahaya, termasuk perkawinan usia anak pada 2030.
Ketua KPAI Susanto juga mengatakan, mencegah pernikahan anak akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Persoalan pernikahan anak ini perlu diselesaikan oleh semua pihak. ”Lembaga negara tidak hanya membuat regulasi, tetapi juga perlu memikirkan pencegahannya,” ujarnya.
Selain itu, peran para pemangku adat dan tokoh agama dibutuhkan untuk mencegah pernikahan anak. Ia mendorong agar mereka melihat dari berbagai sudut pandang lain, seperti kesehatan anak dan kebijakan lain.
Situasi darurat
KPAI dalam keterangan pers yang disampaikan Ketua KPAI dan komisioner KPAI, Rita Pranawati, menyatakan, pernikahan usia anak di Indonesia sudah masuk pada fase darurat. Hal itu sesuai laporan BPS tahun 2016-2017 bahwa Indonesia mempunyai prevalensi pernikahan usia anak tertinggi di wilayah Asia Timur dan Pasifik. Rata-rata 25 persen dari perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum umur 18 tahun.
Selain itu, dari penelitian yang dilakukan oleh Australia Indonesia Partnership for Juctice pada tahun 2019, ditemukan fakta bahwa terdapat 12.000 permohonan dispensasi pernikahan yang diajukan ke pengadilan setiap tahun. Namun, dari penelitian itu, hanya lebih kurang 5 persen perkawinan usia anak yang menempuh jalur formal melalui pengajuan dispensasi pernikahan.
”Diperkirakan 95 persen perkawinan usia anak dilakukan melalui jalur non-konstitusional, seperti menikah siri, tidak mencatatkan perkawinannya, dan sebagian patut diduga menaikkan umur anak melalui dokumen resmi kependudukannya,” kata Susanto.
Diperkirakan 95 persen perkawinan usia anak dilakukan melalui jalur non-konstitusional.
Karena itu, KPAI meminta pemerintah dan DPR segera menindaklanjuti amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) agar revisi Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan segera dilakukan.
Seperti diberitakan, MK pada 13 Desember 2018 memutuskan bahwa pernikahan anak, khususnya perempuan berusia 16 tahun, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal 7 Ayat (1) UU No 1/1974 yang mensyaratkan usia minimal perempuan menikah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun dinilai diskriminatif.
Adapun Pasal 7 Ayat (1) berbunyi, ”Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Dalam putusannya, MK memerintahkan pembentuk UU dalam jangka waktu tiga tahun mengubah UU itu.
Woro Srihastuti Sulistyaningrum, Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, menyatakan, putusan MK yang mengabulkan sebagian dari uji materi terkait perbedaan usia perkawinan dalam UU No 1/1974 tentang Perkawinan dinilai sebuah kemajuan dalam upaya pencegahan perkawinan anak.
”Diperlukan koordinasi lintas sektor dalam melakukan tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi,” ujar Woro.
Tata cara dispensasi pernikahan anak
Untuk mengisi kekosongan hukum saat ini, Mahkamah Agung (MA) tengah menyusun peraturan mahkamah agung (perma) tentang tata cara untuk menyidangkan permohonan dispensasi pernikahan. ”Peraturan mahkamah agung tersebut mengatur bagaimana hakim menyidangkan dispensi pernikahan sehingga tidak mudah memberikan dispensasi,” ujar Amran Suadi, Ketua Kamar Peradilan Agama MA.
Selain menyusun perma, kata Amran, MA juga memberikan pelatihan bagi hakim-hakim yang menyidangkan permohonan dispensasi pernikahan agar para hakim menguasai psikologi anak dan keluarga. Bahkan, untuk sidang permohonan dispensasi pernikahan, akan ada sesi pemeriksaan khusus untuk anak-anak. Tata cara pemeriksaannya sama seperti peradilan anak, hakim tidak menggunakan toga.