Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Di antara negara-negara anggota ASEAN itu, Indonesia memiliki transaksi berjalan yang defisit pada 2017. Data yang dirilis Bank Indonesia –bersumber dari BI dan Bank Dunia-, transaksi berjalan RI defisit 17,53 miliar dollar AS atau 1,73 persen produk domestik bruto (PDB).
Sementara, transaksi berjalan Malaysia surplus 9,45 miliar dollar AS atau 3 persen PDB. Adapun Thailand memiliki transaksi berjalan yang surplus 48,13 miliar dollar AS atau 10,57 persen PDB dan Vietnam surplus 6,12 miliar dollar AS atau 2,74 persen PDB.
Transaksi berjalan yang defisit itu berdampak signifikan terhadap nilai tukar. Secara sederhana, defisit diartikan sebagai kebutuhan akan dollar AS yang melebihi kemampuan menghasilkan dollar AS. Akibatnya, rupiah terpengaruh gejolak dollar AS.
Sejak awal tahun ini, nilai tukar berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) bergerak pada kisaran Rp 13.947 (pada 6/2/2019) hingga Rp 14.474 per dollar AS (pada 3/1). Meski banyak faktor yang memengaruhi pergerakan nilai tukar, akan tetapi daya tahan bisa ditingkatkan melalui perbaikan transaksi berjalan.
Kondisi perekonomian global masih dinamis, sehingga berdampak pada perdagangan dunia. Dalam kondisi ini, Indonesia bisa terkena dampak dari sisi perdagangan. Berkaca dari kondisi 2018, neraca perdagangan RI defisit 8,496 miliar dollar AS. Tahun lalu, neraca perdagangan bulanan hanya surplus pada Maret, Juni, dan September.
Pada Januari 2019, neraca perdagangan RI defisit 1,159 miliar dollar AS. Dari impor senilai 15,028 miliar dollar AS, sekitar 76,21 persen di antaranya berupa bahan baku dan penolong. Adapun sisanya berupa barang modal (15,66 persen) dan barang konsumsi (8,13 persen).
Sementara, transaksi berjalan terdiri dari neraca perdagangan barang, jasa, dan pendapatan. Pada 2018, baik barang, jasa, maupun pendapatan dalam posisi defisit. Jika kondisi ini terus terjadi, maka transaksi berjalan akan terus-menerus defisit.
Pemerintah berupaya memperbaiki transaksi berjalan. Dengan kondisi neraca perdagangan barang yang defisit, maka perbaikan yang bisa dilakukan adalah pada neraca perdagangan jasa. Meskipun, setidaknya sejak 2012, jasa dalam kondisi defisit.
Pada 2018, neraca jasa defisit 7,101 miliar dollar AS. Kondisi ini terutama akibat jasa transportasi yang defisit 8,837 miliar dollar AS. Jasa transportasi dihitung dari penggunaan kapal pengangkut barang maupun penumpang. Adapun jasa perjalanan, yang memasukkan perjalanan wisatawan mancanegara dan wisatawan domestik, surplus 5,338 miliar dollar AS.
Berdasarkan realisasi surplus jasa perjalanan, pemerintah berencana meningkatkan kegiatan pariwisata. Bank Indonesia juga mendukung rencana itu. Pertimbangan sederhananya, masa Indonesia tidak bisa seperti Thailand, yang berhasil membukukan surplus neraca jasa dengan dukungan industri pariwisata?
Berdasarkan data BI dan Bank Dunia per 2017, neraca jasa Thailand surplus 29,81 miliar dollar AS atau 6,55 persen PDB. Pada 2017, Thailand didatangi 35,592 juta wisman dengan pengeluaran total 62,158 miliar dollar AS.
Hasrat menyamai prestasi Thailand dalam industri pariwisata mestinya tak hanya ada di dalam angan-angan. Keinginan itu mesti direalisasikan. Meskipun, bukan perkara gampang untuk menjadikan pariwisata sebagai sektor pemupuk pendapatan. Lebih jauh lagi, menjadikan pariwisata sebagai pembalik neraca jasa dari defisit menjadi surplus. Tahun lalu saja, realisasi wisman meleset dari target.
Dengan kata lain, perlu kerja keras dan rencana yang jitu, serta langkah tiada henti. (Dewi Indriastuti)