Tiga Opsi Teknis Dipertimbangkan
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemilihan Umum mempertimbangkan tiga opsi upaya teknis untuk mengatasi persoalan terkait dengan pemilih pindahan ya
ng masuk dalam daftar pemilih tambahan. Upaya-upaya teknis itu dimaksudkan untuk memaksimalkan perlindungan hak pilih warga negara yang kini terkendala sejumlah problem teknis di lapangan maupun pembatasan regulasi.
Tiga opsi yang dipertimbangkan KPU itu ialah mengirim atau mendistribusikan surat suara mengikuti pemilih yang pindah tempat memilih; mencetak surat suara baru untuk pemilih pindahan, dan menghapus surat suara bagi pemilih yang berpindah di daerah asal; atau mendistribusikan para pemilih pindahan yang menumpuk di tempat pemungutan suara (TPS) terdekat.
Anggota KPU Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan, pengaturan prosedur pindah memilih sebenarnya secara teknis tidak sulit bagi KPU. Pemilih bisa mengurus perpindahan memilih dari KPU asal maupun KPU tujuan, selain juga bisa mengurus melalui panitia pemungutan suara (PPS) asal. Namun, dampak ikutan dari perpindahan memilih itu yang membawa konsekuensi tertentu yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga berkaitan dengan regulasi. Penyediaan surat suara tambahan menjadi penting lantaran adanya penumpukan pemilih pindahan di titik-titik tertentu.
Selain menunggu Mahkamah Konstitusi (MK) memberi putusan terkait dengan hak pilih warga negara, KPU juga mempertimbangkan tiga opsi tersebut untuk mengatasi potensi ancaman warga negara kehilangan hak pilihnya karena alasan administratif.
“Untuk opsi pertama, yakni memindahkan surat suara mengikuti pemilih yang berpindah, agak sulit dilakukan secara teknis di lapangan. Perpindahan itu akan rumit, karena harus mengikuti satu per satu pemilih yang berpindah, dan mengetahui secara detil juga tujuan pengiriman surat suara itu. Perpindahan surat suara itu juga berpotensi membingungkan petugas di lapangan,” katanya, Selasa (12/3/2019) di Jakarta.
Pemindahan surat suara akan menimbulkan lalu-lintas pengiriman surat suara yang rumit, karena pengiriman untuk orang per orang tidak berdiri sendiri. Sebagai contoh, jumlah pemilih pindahan dari Pandeglang, Banten, ke luar daerah ada 12 orang. Bila mengikuti opsi pertama, 12 surat suara itu harus dicoret dan dikirimkan ke daerah pindahan. Namun, pada saat bersamaan, Pandeglang juga menerima kiriman pindah daerah sebanyak 7 orang. Artinya, harus ada 7 surat suara yang harus juga disiapkan oleh Pandeglang untuk menampung DPTb tersebut.
“Pertanyaannya, bila menggunakan opsi pertama, apakah surat suara yang dicoret dari Pandeglang 12 buah, ataukah hanya 5 buah saja, karena ada 7 pemilih pindahan yang surat suaranya mesti disiapkan oleh KPU. Problem teknis inilah yang dihadapi oleh KPU dalam penyediaan surat suara terkait dengan DPTb, sedangkan KPU kini praktis memiliki waktu sekitar 30 hari sebelum pemungutan suara,” kata Pramono.
Perpindahan surat suara juga memerhatikan apakah perpindahan pemilih itu lintas kota/kabupaten saja, ataukah lintas provinsi. Perpindahan lintas kota/kabupaten membuat pemilih hanya bisa mendapatkan tiga surat suara, yakni untuk pemilihan presiden dan DPD. Adapun untuk pemilih yang berpindah lintas provinsi hanya menerima surat suara pemilihan presiden.
Opsi kedua dipandang memadai, yakni dengan mencetak surat suara tambahan bagi DPTb. Dengan pencetakan surat suara, KPU di daerah asal tidak perlu mengirimkan surat suara mengikuti pemilih yang berpindah, tetapi hanya perlu menghapus surat suara itu agar tidak disalahgunakan. Namun, pencetakan surat suara ini memerlukan payung hukum, yakni dengan pemberian tafsir oleh MK.
Ketiga, opsi perpindahan pemilih pindahan yang menumpuk ke TPS terdekat yang menyebar di wilayah yang sama. Hanya saja, untuk opsi ketiga ini terdapat kendala berupa jarak, utamanya untuk daerah-daerah yang terisolasi dan jaraknya dengan TPS terdekat bisa puluhan kilometer.
“Itulah pilihan-pilihan yang ada sekarang. Nanti akan kami lihat mana yang mungkin dilakukan, karena juga tergantung putusan MK seperti apa. Tetapi memang ada kepedulian besar dari KPU untuk menjamin ketersediaan surat suara bagi pemilih, entah bagaimana pun caranya,” kata Pramono.
Dua permohonan uji materi telah didaftarkan di MK terkait dengan persoalan hak pilih warga negara. Ketua KPU Arief Budiman menegaskan, KPU telah menyiapkan drfat-draft kebijakan teknis yang akan diambil manakala putusan MK keluar, baik yang mengabulkan atau menolak permohonan uji materi UU Pemilu.
“Kami sudah siapkan draft-draftnya. Kalau putusan MK seperti ini, maka draft upaya teknisnya begini. Kalau putusan MK begini, nanti kami melakukan apa. Draft-draftnya sudah kami siapkan, dan baru kami keluarkan bila sudah ada putusan dari MK,” kata Arief.
Peneliti senior Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengatakan, selain memikirkan DPTb, KPU juga secara umum harus memerhatikan akurasi dan validitas DPT. KPU perlu segera menginformasikan secara terbuka data-data invalid, data anomali, dan data ganda kepada publik, karena bisa jadi sebenarnya temuan-temuan itu sudah terklarifikasi atau sudah diselesaikan.
“KPU harus terus menempuh kebijakan progresif untuk mengakomodir hak konstitusional pemilih dengan segala sumber dayanya, termasuk perkembangan dan akurasi terkait data pemilih pindahan dan potensi data yang tidak tercantum dalam DPT atau DPTb,” ujarnya.