Tolak Tambang, Warga Konawe Kepulauan Memilih Perkebunan
Warga Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, selama ini mengandalkan penghidupan pada sektor perkebunan dengan komoditas utama mete, cengkeh, pala, dan kopra. Karena itu, warga menolak pertambangan masuk di kabupaten yang wilayahnya mencakup seluruh Pulau Wawonii tersebut.
Oleh
Videlis Jemali
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Warga Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, selama ini mengandalkan penghidupan pada sektor perkebunan dengan komoditas utama mete, cengkeh, pala, dan kopra. Komoditas itu dinilai menyejahterakan. Karena itu, warga menolak pertambangan masuk di kabupaten yang wilayahnya mencakup seluruh Pulau Wawonii tersebut.
Demikian kesimpulan dari aspirasi sejumlah warga Pulau Wawonii saat ditemui di Kendari, Sultra, Rabu (13/3/2019). Warga datang ke Kendari, ibu kota provinsi, untuk berunjuk rasa secara damai yang menurut rencana digelar pada Kamis (14/3).
Unjuk rasa itu untuk menuntut pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) di Kabupaten Konawe Kepulauan. ”Kami merasa sudah cukup dengan perkebunan. Berkat perkebunan, kami bisa menyekolahkan anak dan membangun rumah yang baik,” kata Rasyid (61), warga Desa Roko-roko Raya, Kecamatan Wawonii Tenggara, Konawe Kepulauan.
Pulau Wawonii ditempuh dengan perjalanan laut selama empat jam dari Kendari. Pulau itu luas daratannya 867 kilometer persegi. Aktivitas ekonomi utama di sana adalah perkebunan dengan komoditas andalan mete, pala, cengkeh, dan kopra.
Penopang kehidupan lainnya adalah sektor perikanan tangkap. Kawasan permukiman warga berada di pesisir, sementara perkebunan warga mengelilingi pegunungan berhutan di bagian tengah pulau.
Pertambangan saat ini belum berjalan. Hanya ada satu perusahaan yang bersiap untuk melakukan operasi produksi. Wilayah penambangannya berada di Desa Roko-roko Raya.
Rasyid mengatakan, dari penjualan mete, misalnya, dia bisa mengantongi pendapatan Rp 50 juta per tahun. Hasil itu dari produksi 5 ton per tahun dengan harga Rp 10.000 per kilogram. Bertahun-tahun komoditas itu mampu menopang ekonomi keluarga Rasyid. Tiga dari delapan anaknya merengkuh pendidikan tinggi berkat penjualan komoditas perkebunan.
Kami sudah sejahtera dengan apa yang kami miliki.
Alma (46), juga warga Roko-roko Raya, mengatakan hal yang sama. Dirinya berjuang untuk menolak tambang karena sudah menikmati hasil perkebunan. ”Kami sudah sejahtera dengan apa yang kami miliki,” ujarnya. Dua anaknya sudah menyelesaikan pendidikan tinggi, dua lainnya masih duduk di sekolah menengah.
Gelombang penolakan tambang di Konawe Kepulauan menguat dalam seminggu terakhir setelah ada unjuk rasa warga pada Rabu (6/3) dan mahasiswa pada Senin (11/3). Tuntutannya, pencabutan izin pertambangan di kabupaten itu.
Terkait dengan tuntutan warga, Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi pada Senin lalu menyatakan, dirinya membekukan atau menghentikan sementara operasi 15 IUP di Konawe Kepulauan. Langkah itu diambil untuk mengevaluasi kelayakan kabupaten itu terhadap pertambangan.
”Sambil dihentikan operasinya, kami akan undang semua direksi atau pemilik perusahaan tambang bersama dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah. Dan, juga nanti saya melaporkan ke pemerintah pusat karena ini ada sangkut pautnya juga dengan pusat,” kata Ali.
Ada 18 IUP di Konawe Kepulauan, tetapi 3 IUP sudah habis masa kontraknya. IUP yang masih aktif saat ini ada yang beroperasi produksi, ada pula yang masih pada tahap eksplorasi. Bahan tambangnya berupa mineral logam, seperti nikel, ataupun nonlogam.
Ali menyampaikan, evaluasi yang dilakukan akan mempertimbangkan berbagai hal, antara lain kelayakan Pulau Wawonii untuk pertambangan dan masalah lingkungan. ”Kalau pulau itu dinyatakan bebas tambang, kenapa dulu ada IUP? Sebagai Gubernur, saya akan panggil pihak-pihak untuk menelusuri dari awal hal-hal ini,” katanya.
Ia pun memastikan, kalau hasil evaluasi menunjukkan pertambangan tak layak di Pulau Wawonii, pencabutan IUP bersifat permanen.