Obyek wisata sejarah dan budaya di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, kurang ditata dan dikreasi sehingga wisatawan lokal memilih mengunjungi wisata pantai. Padahal, kota ini menjadi titik start Sail Indonesia setiap tahun. Semangat menggenjot sektor pariwisata untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dinilai masih sebatas wacana.
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Obyek wisata sejarah dan budaya di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, kurang ditata dan dikreasi sehingga wisatawan lokal memilih mengunjungi wisata pantai. Padahal, kota ini menjadi titik start Sail Indonesia setiap tahun. Semangat menggenjot sektor pariwisata untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dinilai masih sebatas wacana.
Kondisi salah satu obyek wisata sejarah terletak di pusat kota Kupang, yakni Goa Pertahanan Jepang, di Dusun Nunleu, Kelurahan Liliba, Kecamatan Oebobo, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, sangat memprihatinkan. Goa itu dibangun pada 1942 oleh tentara Jepang untuk mempertahankan diri dari serangan serdadu Belanda dan sekutunya.
Goa itu memiliki empat pintu masuk. Bagian dalam saling berhubungan sehingga orang bisa masuk lewat pintu goa yang satu dan keluar melalui pintu goa lain. Ketinggian goa sekitar 170 sentimeter, hampir sama tinggi dengan rata-rata tinggi badan orang Asia.
Goa tersebut berada di tebing yang berdampingan dengan Sungai Liliba. Meski sudah berusia 77 tahun, sering dilanda gempa, hujan, dan angin badai, lubang goa tidak pernah runtuh. Tebing itu berupa batu karang dan batu kapur yang tidak mudah ambles.
Akses menuju goa sepanjang 750 meter dari jalan utama berupa timbunan batu-batu karang, tanpa aspal dan beton semen. Meskipun terletak dekat dengan permukiman warga, goa itu tampak sepi. Tidak ada pengunjung, kecuali beberapa ibu rumah tangga datang membawa anak-anak untuk mandi dan mencuci pakaian di sungai, dekat goa.
Selain itu, Pantai Koepan, atau lebih sering disebut Pantai Teddys, tempat pendaratan perdana peserta Sail Indonesia, memiliki sejarah unik. Tempat itu menjadi titik awal kedatangan bangsa Portugis dan bangsa Belanda di daratan Pulau Timor.
Di situ dibangun benteng Concordia oleh bangsa Portugis, tetapi benteng pertahanan itu sudah hancur, tidak berbekas. Di atas bekas reruntuhan dibangun barak militer atau Komando Resor Militer 161/WSI-Batalyon Infanteri 743. Tidak semua warga Kupang memahami soal sejarah benteng itu.
Hampir semua bangsa asing yang datang pertama di Kupang atau Pulau Timor melalui Pantai Koepan atau Pantai Teddys. Di situ terdapat batu karang yang berdiri mirip sebuah dermaga.
Titik awal sejarah Kota Kupang dan Timor secara keseluruhan sebenarnya mulai dari Pantai Koepan. Sayang pantai itu tidak ditata. Tidak ada literatur sejarah yang dipajang di pantai untuk menjelaskan kisah asal-usul nama Kota Kupang.
Kondisi serupa terlihat di Goa Monyet di Kelurahan Kepala Lima, Kecamatan Oebobo. Terletak di sisi jalan negara dan berhadapan dengan rumah dinas anggota DPRD NTT, goa ini selalu mendapat sorotan dari media massa, masyarakat, dan anggota DPRD.
Sampai dengan Oktober 2018, beberapa monyet di dalam kawasan itu mati kelaparan. Kondisi itu mendapat reaksi keras dari berbagai pihak. Pihak pengelola Goa Monyet, yakni Dinas Pariwisata Kota Kupang, pun merasa tersudutkan. Padahal, ada alokasi anggaran untuk makanan dan minuman monyet-monyet ekor panjang itu.
Tulisan ”Wisata Goa Monyet” pun dihapus, lalu diganti dengan tulisan ”Kampung Seni Flobamorata”. Anehnya, tidak ada kampung seni di dalam kawasan itu, termasuk rumah seni sekalipun. Hanya ada enam monyet berkeliaran di dalam hutan seluas 750 meter persegi itu. Enam monyet di dalam kawasan itu tampak kurus dan lemas.
Ito (45), pemilik kios penjual makanan ringan dan kelapa muda di samping Goa Monyet, mengatakan, ada enam monyet yang masih ada di dalam kawasan hutan seluas sekitar 700 meter persegi di tengah pusat kota itu. Ada anggaran Rp 500.000 per bulan dari dinas pariwisata untuk kebutuhan makanan bagi enam monyet itu.
”Kalau diberi makan dan minum, semestinya monyet-monyet ini tampak gemuk dan segar. Tetapi, kondisinya kurus seperti ini. Saat monyet-monyet itu merasa lapar atau haus, mereka mampir ke kios. Kasihan, monyet-monyet itu sangat kurus,” kata Ito.
Wisata budaya Museum Negeri Kupang pun tampak sepi. Sesekali puluhan siswa sekolah dasar dan sekolah menengah mampir di museum itu bersama para guru. Mereka ini diarahkan oleh sekolah. Tidak ada inisiatif pribadi dari siswa atau masyarakat umum untuk mendatangi museum, melakukan studi, atau mendapatkan informasi yang tersedia di museum.
Seniman Kota Kupang, Wely Pah, mengatakan, perlu ada terobosan yang kreatif dan inovatif dari pengelola museum untuk menarik pengunjung, seperti lomba cerdas cermat tentang sejarah museum, kisah perjuangan masyarakat NTT mengusir penjajah, lomba cerita rakyat, legenda tentang pulau-pulau di NTT, dan pentas budaya.
Ia mengatakan, museum juga harus lebih banyak mengoleksi benda-benda bersejarah. Masih banyak benda bersejarah tersimpan di rumah-rumah adat dan rumah warga. Peranan museum mendatangkan benda-benda itu agar menjadi bahan pembelajaran masyarakat.
Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia NTT Leo Arkian mengatakan, semangat pemerintah daerah menggenjot sektor pariwisata untuk meningkatkan pendapat asli daerah masih sebatas wacana. Belum ada sikap politik pemda menata secara serius seluruh destinasi wisata, bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk masyarakat.
”Promosi pariwisata harus diikuti dengan semangat mengadakan, menata, dan melengkapi sarana dan prasarana di setiap titik obyek wisata. Banyak obyek wisata terbengkalai karena tidak dirawat, diperbaiki. Selain itu, akses menuju obyek wisata itu belum dibangun, belum tersedia toilet, kamar mandi, dan sarana lain. Selain itu, perilaku masyarakat sekitar pun kurang ramah. Ini masalah utama yang selalu disampaikan tiap tahun,” kata Leo.