ICW Kaji Potensi Kecurangan Dana Kapitasi BPJS Kesehatan
Oleh
Hamzirwan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga swadaya masyarakat pemerhati masalah korupsi, Indonesia Corruption Watch, akan mengkaji potensi kecurangan pemanfaatan dana kapitasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan oleh fasilitas kesehatan. Langkah ini akan dikerjakan menyusul kerja sama antara ICW dan BPJS Kesehatan.
Koordinator ICW Adnan Topan Husodo dan Direktur Kepatuhan Hukum dan Hubungan Antarlembaga BPJS Kesehatan Bayu Wahyudi menandatangani nota kesepahaman bersama di Kantor Pusat BPJS Kesehatan, Jakarta, Kamis (14/3/2019). Kerja sama dilakukan untuk menguatkan koordinasi, terutama dalam memantau potensi kecurangan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)-Kartu Indonesia Sehat (KIS).
Adnan mengatakan, dana kapitasi program JKN-KIS menjadi titik rawan kecurangan yang harus diawasi bersama. Pasalnya, dana yang yang dibayarkan BPJS Kesehatan kepada penyedia layanan kesehatan tingkat pertama, baik untuk belanja kesehatan maupun klaim peserta, dalam hal ini masyarakat, kerap disalahgunakan atau tidak dimanfaatkan secara efisien.
”Dua tahun lalu, kami fokus pada potensi kecurangan yang diterima peserta atau pasien. Sekarang, ada pergeseran, kecurangan pemanfaatan anggaran banyak di internal pemberi layanan kesehatan. Misalnya, diagnosis peserta yang berobat diubah supaya klaimnya lebih tinggi ke pemerintah. Kalau itu dilakukan secara massal, inefisiensi akan tinggi,” katanya.
Kecurangan pemanfaatan dana tersebut, menurut Adnan, juga kerap mengarah pada tindakan korupsi. Dari hasil kajian ICW sebelumnya, setidaknya ada tujuh potensi korupsi pada penggunaan dana kapitasi, seperti di penyedia layanan kesehatan tingkat pertama di pusat kesehatan masyarakat.
Potensi korupsi itu meliputi dugaan manipulasi kehadiran petugas, pemotongan dana jasa pelayanan, pungutan liar, setoran atau suap kepada dinas kesehatan, penggelembungan harga dan belanja fiktif, anggaran ganda, serta pelimpahan pasien ke klinik swasta.
Setelah adanya kerja sama resmi ini, ICW akan menjadi mitra strategis BPJS Kesehatan dalam melakukan pengawasan terhadap jalannya pelayanan kesehatan di lapangan. ICW dipastikan akan lebih mudah mengonfirmasi temuan kecurangan di lapangan kepada BPJS Kesehatan, serta memverifikasi temuan di lapangan sebelum membuka informasi tersebut ke publik.
Tujuan penandatanganan kerja sama tersebut juga disampaikan Bayu Wahyudi. ”Kami berharap, kami bisa lebih optimal dalam menjalankan perundang-undangan untuk memberikan jaminan kesehatan yang berkualitas dan tanpa diskriminasi kepada seluruh penduduk Indonesia yang sudah menjadi peserta program JKN-KIS,” katanya.
Awasi pemerintah
Selain fokus terhadap dana kapitasi yang disalurkan BPJS Kesehatan kepada penyedia layanan kesehatan, kerja sama dengan ICW diharapkan dapat membantu pengawasan dan mendorong ada solusi untuk optimalisasi pemanfaatan anggaran kesehatan oleh pemerintah.
Menurut Bayu, pengawasan terhadap anggaran kesehatan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, juga penting untuk menghindari penambahan beban dana kapitasi yang membuka peluang kecurangan. Dari laporan klaim BPJS Kesehatan tahun 2018, proyeksi defisit dihitung mencapai Rp 16,5 triliun.
”Seperti yang dipesankan Presiden dan Wakil Presiden, pemerintah daerah perlu ikut berperan untuk mengatasi defisit yang ada. Dana kesehatan harusnya dimaksimalkan untuk membayar tenaga pelayan kesehatan dan membangun fasilitas kesehatan. Sementara dana BPJS digunakan untuk global budget (sistem pembayaran rumah sakit berdasarkan anggaran atau sejumlah besaran biaya),” kata Bayu.
Menurut Bayu, saat ini banyak pemerintah daerah yang menganggap dana kapitasi yang disalurkan BPJS Kesehatan bisa digunakan layaknya pendapatan asli daerah (PAD). Dana kapitasi bahkan digunakan untuk memperkaya diri sendiri. Hal ini terbukti dari penemuan beberapa kasus korupsi kepala daerah yang memanfaatkan dana program JKN-KIS.
Pada 2016, misalnya, Jajang Abdul Kholik, mantan Kepala Bidang Layanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Subang (Jawa Barat), dipidana karena melakukan korupsi dana kapitas BPJS Kesehatan yang mengakibatkan kerugian negara hingga Rp 2,6 miliar.
ICW juga pernah mencatat, selama periode 2014-2017, ada delapan kasus korupsi terkait dana kapitasi di delapan puskesmas. Delapan kasus tersebut melibatkan kepala daerah, kepala dinas kesehatan, sekretaris dinas kesehatan, kepala puskesmas, dan bendahara puskesmas. Kerugian negara akibat kasus korupsi itu diperkirakan mencapai Rp 5,8 miliar.
”Oleh karena itu, kami mengajak ICW untuk mengawasi ini bersama-sama karena kami tidak punya kemampuan menyediakan aparat pengawasan yang cukup dari internal kami,” kata Bayu.
Pemetaan
Mengawali kerja sama tersebut, ICW akan segera melakukan kajian yang diawali dengan pemetaan masalah. Pemetaan antara lain dilakukan untuk mengetahui dan memverifikasi potensi penyalahgunaan dana kapitasi.
”Pemetaan akan dilakukan dengan mencari tahu potensi penyalahgunaan di mana saja, kemudian model alokasi seperi apa yang sesuai untuk menghindari penyalahgunaan. Kajian ini setidaknya membutuhkan waktu tiga hingga empat bulan,” kata Adnan.
Setelah hasil dari kajian didapatkan, ICW juga akan membantu BPJS Kesehatan mencari solusi dengan pendekatan kebijakan. Upaya itu antara lain dilakukan dengan mendorong pembuat kebijakan di pemerintahan, juga pihak penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi. (ERIKA KURNIA)