Kerumitan 4 Menit di Bilik Suara
Pada Pemilu 2019, pemilih akan menghadapi kerumitan di bilik suara karena akan mendapat lima surat suara. Karena itu, seyogianya pemilih sudah menentukan pilihan sebelum masuk ke bilik suara.
Dalam sebuah diskusi pada akhir Januari 2019, Ketua Komisi Pemilihan Umum Arief Budiman menyebut Pemilu 2019 merupakan salah satu pemilu paling kompleks di dunia. Kompleksitas itu tidak hanya harus dihadapi oleh penyelenggara pemilu, tetapi juga ditanggung oleh partai politik peserta pemilu, calon anggota legislatif, calon presiden dan wakil presiden, serta pemilih.
Arief membandingkan kompleksitas pemilu di Tanah Air dengan pemilu di India yang waktu pemungutan suara hingga penghitungannya memakan waktu 27 hari. Bedanya dengan pemilu di Indonesia yang kini didesain untuk berbarengan antara pemilihan presiden-wakil presiden dan pemilihan anggota legislatif, waktu yang diberikan undang-undang hanya satu hari. Pasal 383 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur penghitungan suara harus selesai pada hari yang sama dengan pemungutan suara.
Pemilih pada pemilu kali ini juga harus mencoblos lima surat suara sekaligus, yakni untuk memilih presiden dan wapres, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, anggota DPRD kota/kabupaten, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Dalam simulasi pemungutan dan penghitungan suara yang diadakan KPU di halaman kantor KPU RI di Jakarta, Selasa (12/3/2019), kesulitan juga dialami jajaran Sekretaris Jenderal KPU yang mengikuti simulasi. Rata-rata, peserta simulasi memerlukan waktu paling cepat 2 menit dan paling lama 4 menit untuk menuntaskan pemungutan suara. Namun, durasi itu bisa jadi lebih lama dalam kondisi riil. Sebab, dalam simulasi, dalam surat suara nama-nama partai diganti dengan nama buah. Dengan demikian, variabel ”pertimbangan” partai apa atau caleg mana yang harus dipilih tidak muncul dalam simulasi itu. Variabel ini bisa memakan waktu cukup lama.
Nanang (30), pegawai KPU yang bertugas di bagian desain surat suara, misalnya, terlihat bersusah-payah membuka dan melipat surat suara di bilik suara. Ujung surat suara terlihat melebihi sisi kanan dan kiri bilik sehingga ia harus menahan surat suara menggunakan tangan kirinya agar tak terlipat-lipat. Setelah surat suara dicoblos, ia mengikuti lekukan lipatan awal, dan harus mengulanginya lagi dengan empat surat suara lainnya.
Setelah surat suara terlipat kembali, Nanang memasukkan satu per satu surat suara itu ke dalam kotak suara dari bahan karton dupleks. Matanya mencermati satu per satu surat suara yang berbeda itu. Di ujung paling kiri adalah kotak suara untuk pemilihan presiden.
Di samping kotak pemilu untuk presiden, selanjutnya ada kotak untuk DPR RI yang ditandai dengan kotak bertuliskan DPR berlatar kuning, kotak DPD dengan tulisan berlatar merah, kotak DPRD provinsi dengan tulisan berlatar biru, dan DPRD kota/kabupaten dengan tulisan berlatar hijau.
Semua warna latar pada kotak suara itu harus disesuaikan pula dengan warna latar tulisan di surat suara supaya pemilih tidak keliru memasukkan jenis surat suara. Tahapan akhir dari pemungutan adalah pencelupan jari ke tinta warna biru.
”Untuk surat suara anggota DPR dan DPRD calonnya banyak, jadi tadi harus dibuka lebar-lebar untuk memilih. Kalau surat suara presiden lebih mudah dilipat karena calonnya hanya dua,” kata Nanang.
Melebihi batas waktu
Simulasi yang dilakukan oleh KPU pada Selasa merupakan simulasi ketiga setelah di Bogor dan Yogyakarta. Dari penyelenggaraan simulasi di sejumlah tempat, Arief mengatakan, tidak banyak ditemui kesulitan dalam pemungutan dan penghitungan suara. Kendati demikian, di beberapa tempat simulasi terjadi variasi waktu penghitungan suara.
”Kemarin di Yogyakarta sampai pukul 02.00, atau melampaui tengah malam. Kami tetap minta untuk dilanjutkan penghitungan suaranya karena tidak mungkin dihentikan hanya karena melewati pukul 00.00,” kata Arief.
Pembatasan waktu penghitungan selesai pada hari yang sama dengan pemungutan suara termasuk salah satu ketentuan yang sedang diuji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Pada kenyataannya, dengan kemungkinan terburuk setiap orang rata-rata menghabiskan 4 menit di bilik suara, dan satu TPS melayani 300 pemilih, maka setidaknya dibutuhkan waktu 1.200 menit untuk pemungutan suara di satu bilik suara di TPS. Namun, tiap TPS ada 4 bilik sehingga waktu empat menit itu bisa berbarengan dimanfaatkan empat pemilih. Total dibutuhkan waktu paling cepat 300 menit atau 5 jam untuk memungut suara saja.
Namun, itu tentu saja, tetap perlu diingat bahwa waktu kedatangan pemilih juga bisa sangat bervariasi. Tidak menutup kemungkinan mereka datang siang atau menjelang berakhirnya waktu pemungutan suara pukul 13.00. Selain itu, juga bisa dipengaruhi kejadian-kejadian tidak terduga lainnya, seperti hujan, daftar pemilih khusus, dan pemilih pindahan.
Anggota KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, mengatakan, waktu yang relatif lama di dalam bilik suara bisa dipotong bila setiap pemilih sudah punya pilihan di benaknya sebelum datang ke TPS. Dengan demikian, ketika membuka surat suara mereka bisa langsung mencoblos pilihannya.
”Di sinilah perlunya sosialisasi oleh peserta pemilu sehingga pemilih mengenal rekam jejak caleg, dan bisa menentukan pilihannya sebelum masuk ke bilik suara. Pada kenyataannya, acap kali pemilih belum memiliki pilihan saat mereka berada di dalam bilik suara sehingga mereka harus berpikir dulu siapa yang harus dipilih dari banyaknya calon yang ada,” katanya.
Memilih satu dari sekian banyak caleg yang ada di DPR, DPRD provinsi, DPRD kota/kabupaten, dan DPD, menurut Pramono, tentu akan memerlukan waktu.
Namun, risiko inefisiensi waktu justru rentan terjadi saat penyalinan atau tabulasi hasil penghitungan di TPS, yakni penyalinan dari C1 plano ke C1 dengan sertifikat berhologram. Hasil penyalinan itu harus diberikan kepada masing-masing saksi yang hadir di TPS. Semakin banyak saksi yang hadir, salinan yang dibuat semakin banyak.
”Kalau dari 16 saksi parpol hadir semua, sebanyak 16 salinan harus dibuat. Begitu pula jika ada 30 saksi caleg DPD hadir semua, salinan harus diberikan kepada masing-masing saksi DPD itu. Dengan pertimbangan itu, tidak mungkin menyelesaikan salinan C1 untuk para saksi sebelum pukul 12 malam,” kata Pramono.
Pendiri Network for Democracy dan Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay mengatakan, banyak kendala teknis di lapangan yang harus diantisipasi KPU, utamanya dalam tahapan pungut-hitung. Kendala teknis sekecil apa pun sebaiknya tak diremehkan.
”Misalnya untuk salah satu surat suara yang keliru dimasukkan ke kotak, bagaimana nanti penghitungannya. Apakah akan dihitung ulang semuanya, sedangkan penghitungan C1 untuk jenis suara suara itu telah selesai dan ditandatangani KPPS? Apa yang harus dilakukan petugas? Hal-hal ini kelihatannya kecil, tetapi bisa mengganggu, dan mungkin saja jadi celah keberatan saksi peserta,” katanya.
Kompleksitas pemilu serentak, menurut Hadar, menguji kesabaran penyelenggara. Keterampilan KPPS akan menjadi ujung tombak. Ketelatenan dan ketekunan KPU dalam memahami detail, selain sosialisasi dan antisipasi segala kemungkinan di lapangan menjadi bekal penting bagi penyelenggara memperkecil risiko kekacauan tahapan pungut hitung.