JAKARTA, KOMPAS — Pemilu yang sangat kompetitif memicu kerentanan yang tinggi atas terjadinya kekerasan pemilu, baik kepada penyelenggara, kelompok pemilih, maupun pihak-pihak lain yang terkait, seperti pengawas independen di tingkat lokal ataupun nasional. Kekerasan itu antara lain timbul karena adanya perbedaan pilihan di tengah kompetisi yang tinggi dan polarisasi pemilih.
Pemilu yang merupakan ajang kompetisi dalam suasana demokratis kini tidak lagi dipandang sebagai sesuatu kegiatan biasa atau rutin, tetapi dinilai sebagai pertaruhan hidup mati. Pertaruhan itu pun kerap dikaitkan dengan sesuatu yang sensitif, seperti agama, ideologi, dan keyakinan, terhadap citra diri tertentu.
Menurut Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), potensi kekerasan untuk pemilu sekarang lebih tinggi karena kemampuan atau kemauan untuk menerima perbedaan pilihan itu semakin menurun. Polarisasi dan afeksi politik yang berlebihan membentuk ikatan politik yang terlalu emosional.
”Ikatan politik yang begitu kuat di antara pemilih dengan aktor politik peserta pemilu yang dibangun berdasarkan pendekatan emosional itu sangat mudah mudah memicu terjadinya kekerasan,” kata Titi, Rabu (13/3/2019), dalam diskusi dan peluncuran alat pelaporan kekerasan pemilu di kantor Badan Pengawas Pemilu, Jakarta.
Perludem membedakan kekerasan pemilu menjadi tiga macam, yakni kekerasan fisik menimbulkan luka atau kematian, kekerasan yang berupa perusakan properti, dan kekerasan yang berupa ancaman. Ketiga kekerasan itu ditemukan hampir dalam setiap penyelenggaraan pemilu, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Perludem mendapati kekerasan pemilu yang dilandasi ikatan politik emosional memengaruhi hubungan sosial warga secara fundamental. Sebagai contoh, di Gorontalo, seorang warga memindahkan makam keluarganya karena berbeda pilihan calon anggota legislatif dengan tetangganya yang lain.
Konflik sosial juga ditemukan di Sampang, Madura, ketika dua orang yang berbeda pilihan politik saling tersinggung karena status mereka di media sosial. Keduanya bahkan berduel karena perbedaan dukungan politik di media sosial.
”Kerentanan ini berpotensi muncul karena banyak faktor, antara lain dorongan untuk kemerdekaan politik dan provokasi elite politik, termasuk juga ketidakpuasan karena hasil pemilu dan putusan pengadilan,” katanya.
Ketidakpuasan
Anggota Bawaslu, Mochammad Afifuddin, mengatakan, pengawas pemilu juga rentan mengalami kekerasan dalam tugasnya. Bawaslu mencatat ada 66 pengawas yang mengalami kekerasan dan intimidasi di lapangan. Sebagian kekerasan fisik ini dipicu oleh ketidakpuasan para pihak terhadap hasil putusan Bawaslu di daerah.
Selain berupa kekerasan fisik, kekerasan yang dialami pengawas pemilu juga berupa berita bohong atau hoaks yang disebarkan guna mendelegitimasi mereka. Umumnya hoaks itu disebarkan untuk membentuk opini seolah-olah penyelenggara, termasuk Bawaslu, bersikap tidak netral atau condong kepada salah satu pasangan.
”Hoaks ini sebenarnya kekerasan juga terhadap penyelenggara pemilu karena kami dianggap seolah-olah tidak netral. Padahal, itu informasi yang tidak benar. Mereka yang menyebarkan informasi itu tidak melakukan klarifikasi sehingga membuat publik berpikir informasi itu benar,” kata Afifuddin.
Nisrina Nadhifah, aktivis HAM dari Kontras, dalam diskusi itu mengatakan, kekerasan fisik yang dilakukan aparat negara, seperti TNI dan Polri, juga perlu dipantau supaya tidak terjadi. Intimidasi ataupun kekerasan fisik rentan dialami warga pemilih dalam kaitannya dengan pilihan politik mereka.
Nanang Syaifuddin, Direktur Eksekutif I-Lab, meluncurkan aplikasi Mata Massa untuk menampung laporan dari masyarakat terkait dengan adanya kekerasan pemilu.
”Siapa pun yang menemukan kekerasan bisa melapor melalui aplikasi ini. Laporan itu akan kami koordinasikan dengan Bawaslu,” katanya.