Komisi III DPR mengambil jalan aman dengan memilih kembali dua hakim konstitusi Aswanto dan Wahiduddin Adams pada Selasa, 12 Maret 2019.
Kedua hakim konstitusi yang habis masa jabatannya pada 21 Maret 2019 itu akan terus menjabat untuk empat tahun ke depan. Pilihan aman dengan pertimbangan pragmatis guna menangani sengketa Pemilu 2019 tecermin dari pernyataan Ketua Komisi III DPR Kahar Muzakir, ”Daripada memilih coba-coba dengan tantangan pemilu, kami pilih yang sudah berpengalaman saja.” Hal senada disampaikan Wakil Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan.
Pilihan DPR haruslah dihormati. Kritik publik bahwa DPR hanya mau main aman juga harus diterima. Hakim konstitusi pilihan DPR dinilai kurang berpihak pada perlindungan hak asasi manusia, kebebasan berekspresi, dan perlindungan kelompok minoritas serta kurang responsif dalam menghadapi dinamika sosial kemasyarakatan. Dengan dipilihnya kembali dua hakim konstitusi oleh DPR, kita berharap Mahkamah Konstitusi segera bersiap menghadapi berbagai sengketa pemilu.
MK seharusnya bisa lebih responsif dalam menyelesaikan sengketa konstitusional. Sebagai penjaga konstitusi dan penjaga ideologi (the guardian of ideology), MK harus bisa lebih responsif dalam menyelesaikan masalah yang menyangkut kebebasan dasar manusia, misalnya soal hak untuk memilih. MK harus berani tampil ke depan—melalui putusannya—untuk membela hak dasar warga negara berupa kebebasan berekspresi, berserikat, dan beribadah.
Sembilan hakim MK harus kembali menumbuhkan otoritas dan kewibawaan MK. Putusan MK yang bersifat final dan mengikat harus dibangun dengan dasar argumentasi hukum konstitusional serta semangat kebatinan berbangsa yang mendalam dan ditulis sendiri oleh para hakim konstitusi. Belakangan, kita mendapati ada putusan MK yang masih bisa dipertentangkan dengan putusan peradilan lain, misalnya dalam kasus persyaratan menjadi caleg untuk DPD dari partai politik. Situasi ini menambah karut-marutnya sistem ketatanegaraan kita.
Dalam posisi ketatanegaraan yang tinggi, sebagai negarawan yang menguasai konstitusi, hakim MK seharusnya bukanlah orang biasa, tetapi orang yang sudah selesai dengan dirinya. Hakim MK haruslah orang tanpa cela dan berpegang teguh pada Sapta Karsa Hutama (kode etik hakim konstitusi).
Di level kelembagaan, sistem di MK juga harus didesain dapat mencegah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan dan penyimpangan kode etik hakim konstitusi, sebagaimana pernah terjadi pada Ketua MK Akil Mochtar dan Patrialis Akbar. Tragedi pada Akil dan Patrialis disebabkan tidak berjalannya sistem pengawasan di MK serta pemahaman hakim MK hanya sebagai division of labour semata. Padahal, mengutip Satjipto Rahardjo, ludah hakim konstitusi ibarat idu geni (ludah api). Sekali diucapkan, semua harus tunduk. Akan tetapi, sekali celaka, lembaga itu tak akan bisa dipercaya.