Saham Asia Ditutup Variatif, Menunggu Negosiasi AS-China
Oleh
BENNY DWI KOESTANTO
·3 menit baca
TOKYO, KAMIS — Pasar bursa Tokyo ditutup lebih rendah, Kamis (14/3/2019), sering dengan besarnya perhatian terhadap sengketa perdagangan AS-China dan nasib Brexit dalam mempengaruhi pasar pada akhir perdagangan.
Indeks Nikkei 225 ditutup turun tipis 0,02 persen (3,22 poin) ke level 21.287. Sedangkan indeks yang lebih luas, yakni Indeks Topix, melemah 0,24 persen (3,78 poin) ke level 1.588,29.
Pada awal perdagangan, Kamis pagi, pasar saham Asia cenderung mendatar dengan kenaikan tipis, di tengah penantian para pelaku pasar atas data terbaru di China. Data itu akan menjadi petunjuk kondisi negara dengan perekonomian terbesar kedua secara global tersebut.
Di pasar valuta, mata uang poundsterling melonjak mendekati level tertingginya dalam kurun waktu sembilan bulan di tengah risiko keluarnya Inggris dari Uni Eropa tanpa kesepakatan.
Indeks MSCI untuk saham Asia Pasifik di luar Jepang nyaris tidak berubah pada 522,38 poin. Sedangkan Indeks Nikkei 225 Jepang melonjak 0,6 persen; sementara bursa saham Australia dan Selandia Baru masing-masing bertambah 0,2 persen.
Pasar Asia telah mengalami reli yang mengesankan tahun ini dengan indeks MSCI naik sekitar 10 persen, terutama setelah Bank Sentral AS (The Federal Reserve) mengabaikan rencana kenaikan suku bunganya. Indeks-indeks saham di Wall Street menguat semalam setelah data AS menunjukkan harga produsen nyaris naik tipis pada Februari.
Hal itu menjadi tanda bahwa inflasi terbaru tetap moderat dan menegaskan ekspektasi bahwa Federal Reserve akan mempertahankan pendekatan "sabar" terkait program pengetatannya.
Meskipun demikian, para analis pasar tetap skeptis tentang seberapa jauh kenaikan saham akan berjalan sebagai tanda-tanda perlambatan pertumbuhan global. Selain itu, mereka juga mencermati pendapatan perusahaan yang lemah dan ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China yang sangat bergantung pada aset berisiko. Semua mata investor kini tertuju pada China, yang akan merilis angka penjualan ritel dan produksi industri di kemudian hari.
"Sebelum kita menyimpulkan bahwa pasar ini masih memiliki dasar kuat, kami ingin melihat harga ekuitas didukung oleh data makro yang lebih kuat, terangkat oleh tren pendapatan yang lebih baik, dan dikonfirmasi oleh hasil stabil, untuk naik harganya," kata David Lafferty, kepala strategi pasar di Natixis, dalam analisa tertulis bertajuk \'Rally vs Reality\'.
Mencermati Brexit
Dari Eropa, mata uang poundsterling melonjak setelah parlemen Inggris menolak meninggalkan Uni Eropa tanpa kesepakatan. Hal itu membuka jalan bagi pemungutan suara yang dapat menunda Brexit hingga setidaknya akhir Juni tahun ini.
Penolakan di parlemen Inggris terhadap Brexit tanpa kesepakatan mengirim poundsterling menyentuh level 1,3380 per dollar AS. Itu merupakan posisi tertinggi sejak Juni 2018. Poundsterling melesat sekitar 2,1 persen dalam sehari, raihan terbaik sejak April 2017.
Ujian nyata untuk Sterling belum datang, kata Ray Attrill, kepala strategi valas di National Australia Bank. Hal itu memungkinkan karena anggota parlemen masih perlu menyepakati jalan ke depan sebelum perpanjangan dari Uni Eropa dapat diperoleh.
"Tetap tidak mungkin untuk mengesampingkan risiko bahwa kita berakhir dengan pemilihan umum dalam sekejap, sebuah risiko peristiwa yang, jika itu terjadi, memiliki potensi penurunan pound; bahkan lebih dari prospek pintu keluar Inggris yang akan segera terjadi dari UE tanpa pengaturan transisi apa pun,” kata Attrill.
Mata uang euro memperpanjang kenaikan untuk hari kelima berturut-turut ke level tertinggi sejak 5 Maret dengan bertengger di level 1,1306 per dollar AS. Dinamika di Inggris juga mendorong pasar saham di Eropa. Indeks STOXX 600 Eropa naik 0,6 persen sementara London FTSE 100 menambahkan 0,1 persen karena terdorong penguatan sterling.