Waspada Pangan 2019
Tahun ini, kinerja sektor pangan memiliki pekerjaan rumah besar. Belum lagi rampung persoalan data pangan, pemangku kepentingan terkait kembali dihadapkan pada persoalan klasik menyangkut stok dan harga pangan, terutama beras. Anomali cuaca menjadi faktor pemicu sejumlah persoalan itu.
Banjir di sejumlah daerah di Indonesia, termasuk di daerah-daerah lumbung pangan nasional, berpotensi mengurangi hasil panen. Panen raya yang biasanya berlangsung pada Maret juga diperkirakan mundur menjadi April.
Belum lagi panen tuntas dan awal musim tanam kedua mulai, musim kemarau yang diperkirakan datang lebih awal mengancam musim tanam kedua. Jika panen raya diperkirakan mundur jadi April, musim tanam kedua paling cepat akan berlangsung pada Mei.
Padahal, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyatakan, monsun Australia menjadi pemicu musim kemarau datang lebih awal. Kondisi itu menyebabkan 25 persen zona musim di Indonesia diprediksi memasuki kemarau lebih awal.
Wilayah Bali dan Jawa akan memasuki musim kemarau pada April 2019, sedangkan sebagian wilayah Kalimantan dan Sulawesi pada Mei. Kemudian, hampir seluruh wilayah di Indonesia akan mengalami musim kemarau dominan pada Juni hingga Agustus mendatang.
Baca juga: Antisipasi Kemarau Lebih Awal
Kondisi itu diperkirakan menyebabkan stok beras akan berkurang. Harga beras juga akan tinggi karena dipengaruhi tingginya harga gabah kering panen di tingkat petani. Jika harga gabah dan beras tinggi, Perum Bulog akan kesulitan menyerap gabah petani untuk menambah stok beras.
Dalam penyerapan gabah dan beras itu, Bulog masih bergantung pada harga pembelian pemerintah (HPP) yang tak kunjung diperbarui. HPP itu diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. HPP untuk gabah kering panen (GKP) adalah Rp 3.700 per kilogram (kg).
Pemerintah telah memberikan kelonggaran terhadap Bulog agar dapat menyerap GKP seharga Rp 4.070-Rp 4.440 per kg atau 10-20 persen lebih tinggi daripada HPP. Namun, apakah bisa Bulog menyerap GKP dengan harga tersebut?
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, rata-rata nasional harga GKP di tingkat petani pada April dari tahun ke tahun semakin meningkat. Harga GKP pada April 2016 telah menyentuh Rp 4.262 per kg, April 2017 sebesar Rp 4.308 per kg, dan April 2018 sebesar Rp 4.757 per kg.
Sementara pada tahun ini, Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia memperkirakan, harga GKP di tingkat petani berkisar Rp 4.400-Rp 4.500 per kg di wilayah sentra-sentra produksi, termasuk di Pulau Jawa.
Dengan harga GKP di tingkat petani seperti itu, Bulog akan kembali kesulitan menambah stok. Padahal, dari waktu ke waktu, stok beras Bulog semakin berkurang, baik untuk bantuan korban bencana banjir, gempa, dan tsunami maupun penyaluran beras sejahtera, operasi pasar, dan program bantuan pangan nontunai.
Pada Januari-April 2019, Bulog ditugaskan menyalurkan bantuan sosial beras sejahtera kepada 53 juta keluarga penerima manfaat di 295 kabupaten. Untuk keperluan itu, harga penggantian beras ditetapkan pemerintah sebesar Rp 10.219 per kg.
Baca juga: Cadangan Beras Menumpuk, Bulog Siap Masuk Pasar Komersial
Dilema Bulog
Saat ini, stok cadangan beras pemerintah (CBP) di Bulog tinggal 1,8 juta ton. Tahun ini, Bulog menargetkan dapat menyerap 1,5 juta ton. Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian menyebutkan, produksi beras secara nasional selama kurun Januari-Maret 2019 diperkirakan mencapai 14,1 juta ton.
Dari produksi itu, penyerapan beras ditargetkan mencapai 1,4 juta ton atau sekitar 80 persen dari target pengadaan beras Bulog tahun ini. Sisanya diharapkan bisa diserap dari panen bulan April-Desember 2019.
Kalaupun kesulitan menyerap GKP sesuai HPP atau fleksibilitas HPP, Bulog akan menyerapnya melalui mekanisme komersial. Namun, hal itu akan kembali membebani Bulog karena akan mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk menyerap GKP.
Di tengah kondisi itu, Bulog akan mengomersialkan beras dengan menjual dan mengekspor sebagian cadangan beras. Langkah itu diambil dengan mempertimbangkan potensi kerugian Bulog dan lama waktu simpan CBP.
Pasal 3 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2018 tentang Pengelolaan CBP menyebutkan, pelepasan CBP dilakukan apabila telah melampaui batas waktu simpan paling sedikit empat bulan atau berpotensi atau mengalami penurunan mutu.
Baca juga: Kerugian Bulog Bisa Ditangani Kementerian Keuangan
Akankah di tahun politik ini pemerintah meminta Bulog untuk mengimpor beras kembali saat kesulitan menyerap GKP? Atau bisa jadi Bulog menjual beras dan menggunakan uang hasil penjualan beras itu untuk membeli beras baru atau menyerap GKP di tingkat petani.
Bisa juga Bulog menggunakan dana hasil penggantian penyaluran beras sejahtera untuk menyerap GKP. Namun, selama Bulog belum menerima dana pengganti itu, lagi-lagi Bulog akan mengeluarkan dana dari kantong sendiri atau utang bank.