Hilangkan Segala Hambatan untuk Merealisasikan Investasi Asing
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mesti menghilangkan hambatan sekecil apa pun untuk mendorong realisasi investasi di Indonesia. Apalagi, calon investor selalu mengumpulkan kajian atau laporan melalui konsultan sebelum memutuskan untuk berinvestasi.
”Ada dua pabrik, dari China dan Jerman, yang katanya mau masuk (ke Indonesia). Salah satunya di industri kimia bahan baku ban. Akan tetapi, saya tunggu, kok, mereka tidak kunjung masuk ke Indonesia,” kata Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia Azis Pane di Jakarta, Kamis (14/3/2019).
Ternyata, menurut Azis, calon investor tersebut mendapat laporan dari konsultan yang telah melakukan studi mengenai kondisi di Indonesia. Bahkan, setiap persoalan, sekecil apa pun, seperti hambatan perizinan, pungutan liar, permainan pajak, pemerasan oleh preman, dan berbagai hambatan lain, masuk di dalam laporan itu.
”Mereka membandingkan kondisi di Indonesia dengan kondisi di Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Ini menjadi pertimbangan para calon investor,” kata Azis.
Dalam Kemudahan Berinvestasi 2019 yang diterbitkan Bank Dunia, Indonesia mendapat skor 67,96. Negara anggota ASEAN lain, di antaranya Malaysia, mendapat nilai kemudahan berusaha 80,6. Adapun skor Thailand 78,45 dan Vietnam 68,36.
Data yang sama menunjukkan, biaya memulai bisnis di Indonesia 6,1 persen pendapatan per kapita. Di Malaysia sebesar 11,6 persen pendapatan per kapita, sedangkan di Thailand 3,1 persen dan Vietnam 5,9 persen.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal menunjukkan, realisasi investasi asing pada 2018 terbesar berasal dari Singapura.
Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto mengatakan, saat ini harga gas industri di dalam negeri masih lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia. Padahal, harga gas berkontribusi sekitar 30-35 persen dalam proses produksi industri keramik.
Tak beralasan jika industri keramik tidak dapat meningkatkan kapasitas produksinya.
Menurut Edy, harga gas di Jawa Timur sebesar 7,98 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU). Harga gas di Jawa Barat, sebagai daerah dengan pabrik keramik terbanyak di Indonesia, sekitar 9,1 dollar AS per MMBTU.
Adapun harga gas di Sumatera 9,3 dollar AS per MMBTU. ”Di Malaysia, harga gas 7,5 dollar AS per MMBTU,” kata Edy.
Saat membuka pameran Keramika 2019 di Jakarta Convention Center, kemarin, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyampaikan, salah satu tantangan di sektor industri yang masih harus diselesaikan adalah harga gas yang relatif tinggi. ”Akan tetapi, keberpihakan pemerintah juga sudah jelas, yakni dengan menaikkan Pajak Penghasilan impor komoditas keramik menjadi 7,5 persen. Pemerintah juga memberikan safeguard yang besarnya 23 persen,” ujarnya.
Menurut Kemenperin, kebijakan safeguard berupa pengenaan bea masuk tindakan pengamanan atas produk keramik berlaku sejak Oktober 2018. Adapun kenaikan Pajak Penghasilan (PPh) impor komoditas keramik menjadi 7,5 persen sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110 Tahun 2018 berlaku sejak 12 September 2018.
Menurut Airlangga, kebijakan-kebijakan tersebut mengompensasi harga gas yang masih relatif tinggi. Dengan demikian, menurut dia, tak beralasan jika industri keramik tidak dapat meningkatkan kapasitas produksinya.
Terkait dengan perkembangan investasi, Airlangga mengatakan, beberapa industri keramik telah berekspans. ”Dalam jangka panjang, industri keramik cukup prospektif karena konsumsi keramik nasional per kapita masih sekitar 1,5 meter persegi. Sementara konsumsi keramik ideal dunia sudah 3 meter persegi lebih,” ujarnya. (CAS)