Bulan ini, tepat tiga tahun keputusan Presiden Joko Widodo terhadap pengelolaan Blok Masela di Maluku. Pada Rabu, 23 Maret 2016, di Bandara Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat, Presiden mengumumkan keputusan pengelolaan gas Blok Masela di darat. Sebelumnya, dalam kajian yang panjang dan berlarut-larut, pengelolaan gas Blok Masela direkomendasikan di laut lepas.
Pengelolaan gas Blok Masela penuh liku dan kontroversi. Ditemukan oleh Inpex (memegang 65 persen saham) dan Shell (35 persen saham), Blok Masela yang dikenal dengan proyek Lapangan Abadi itu punya cadangan gas 10,7 triliun kaki kubik. Kontrak ditandatangani pada 1998 dan berlaku hingga 2028. Namun, bisa dibilang, belum ada perkembangan berarti dari pengembangan blok kaya gas tersebut.
Kenapa penuh kontroversi? Sejatinya, persetujuan rencana pengembangan (plan of development/POD) proyek Masela sudah rampung pada akhir 2015. Saat itu, investor mengajukan POD untuk pengembangan gas di laut lepas (offshore). Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said ketika itu sudah menyetujui skema di lepas pantai berdasarkan pertimbangan dan rekomendasi dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Akan tetapi, di situlah awal dari kontroversi. Di tubuh kabinet tidak kompak. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli menyatakan, pengelolaan gas Blok Masela lebih tepat di darat (onshore). Kontroversi kian menyeruak dan ingar-bingar lewat berbagai diskusi ataupun perang pernyataan dan opini di media massa.
Bahkan, pemerintah menyewa jasa konsultan independen untuk memberikan rekomendasi terbaik mengenai pengelolaan gas Blok Masela, di darat atau di laut. Konsultan juga menyarankan gas dikelola di laut lepas lantaran lebih efisien dibandingkan dengan pengelolaan di darat. Hal itu sudah sejalan dengan yang diajukan investor dan direkomendasikan SKK Migas.
Pada akhirnya, Presiden memutuskan pengelolaan gas Blok Masela harus berskema di darat. Menurut Presiden, pengelolaan gas harus memberi manfaat besar bagi rakyat Maluku. Praktis, keputusan tersebut memaksa investor menyusun kajian ulang untuk pengelolaan gas di darat. Bisa diartikan, hal itu memakan waktu lebih lama lagi, termasuk mengeluarkan biaya ulang.
Sekarang bagaimana? Persetujuan POD belum ada. Menurut pemerintah dan SKK Migas, status Blok Masela masih dalam kajian front end engineering design (FEED). Kajian itu meliputi antara lain teknis pengembangan gas dan investasi yang dikeluarkan. Jika kajian tuntas dan persetujuan POD terealisasi, pengerjaan proyek Masela bisa dimulai.
Yang jelas, pengembangan Blok Masela, yang masuk dalam proyek strategis nasional, tak kunjung mengantongi kejelasan. Penerimaan manfaat dari pengembangan gas praktis tertunda. Rencana komersialisasi gas yang dijadwalkan pada 2024 diperkirakan mundur.
Lantaran sudah ada keputusan dari pimpinan tertinggi pemerintahan, mau tak mau, pengembangan gas Blok Masela harus tetap dilanjutkan. Sudah tak ada alasan dan waktu lagi untuk menilai apakah keputusan di darat lebih baik atau tepat. Pokoknya, proyek tersebut harus terlaksana.
Tarik ulur pengembangan gas Blok Masela memberi pelajaran penting bagaimana mengelola investasi hulu migas di Indonesia. Polemik dan kebijakan yang berubah-ubah dapat membingungkan investor. Waktu dan uang terbuang percuma. Masukan kementerian teknis yang disikapi berbeda oleh Presiden dianggap sebagian kalangan seolah ada ketidakpercayaan ataupun keraguan.
Investasi, apalagi dalam jangka panjang dengan nilai ratusan triliun rupiah, adalah soal kepercayaan dan kestabilan. Jika dua hal itu tak ada, apa yang bisa diharapkan untuk menggairahkan iklim investasi hulu migas nasional? (Aris Prasetyo)