Panggung Para Pemberani
MUENCHEN, KAMIS – Liga Champions Eropa musim ini sedikit melenceng dari tradisi. Barisan tim unggulan dan penguasa lama seperti Bayern Muenchen dan Real Madrid gugur dini di babak 16 besar. Mereka dikalahkan para tim pemberani seperti Liverpool FC.
Liga Champions musim ini bisa dikatakan anomali. Tiga dari empat klub teratas di Eropa saat ini yaitu Real Madrid, Bayern Muenchen, dan Atletico Madrid, absen di perempat final kompetisi itu. Padahal, ketiga klub itu merupakan langganan semifinal, bahkan final, di Liga Champions dalam satu dekade terakhir.
Khusus bagi sepak bola Jerman, Liga Champions musim ini adalah bencana. Untuk kali pertama dalam 13 tahun, tidak ada wakil mereka di delapan besar. “Tanpa rencana, tidak punya keberanian,” bunyi judul halaman muka majalah Jerman, Kicker, meratapi kekalahan 1-3 Bayern dari Liverpool, Kamis (14/3/2019) dini hari WIB.
Keberanian memang menjadi faktor pembeda di babak gugur Liga Champions musim ini. Menurut striker Bayern, Robert Lewandowski, timnya telah kalah sebelum bertempur di laga di Stadion Arena Allianz itu. “Taktik kami terlalu defensif dan tidak berani mengambil risiko meskipun tampil di kandang sendiri,” kritiknya.
Bayern, yang dulunya sangat disegani di Eropa, seolah termakan ketakutan di laga itu. Pelatih Bayern Niko Kovac menginstruksikan timnya tampil hati-hati dan menumpuk pemain di belakang guna menangkal serangan balik cepat “The Reds” yang mematikan. Strategi ini bisa dimaklumi karena Bayern hanyalah butuh menang 1-0 untuk lolos ke perempat final.
Kontras dengan Kovac, Manajer Liverpool Juergen Klopp justru meminta pasukannya tampil lebih agresif dan berani saat menguasai bola. Allianz memang kerap menjadi kuburan bagi tim tamu yang tampil pasif. Dari 26 laga Liga Champions terakhir di tempat itu, Bayern hanyalah kalah dua kali. Seluruhnya dari Real di era pelatih Zinedine Zidane, tim yang tidak kenal kompromi soal tampil ofensif.
Keberanian The Reds salah satunya diwakili dari gol pembuka laga itu yang dicetak Sadio Mane. Liverpool keluar dari pakemnya dan memainkan operan panjang dari belakang. Taktik ini beresiko gagal karena Bayern memiliki duet palang pintu jangkung yang tangguh dalam duel-duel atas, yaitu Mats Hummels dan Niklas Sule.
Mane memanfaatkan antisipasi lambat mereka dan berani menghadirkan Cruyff turn alias gocekan ala legenda Barcelona, Johan Cruyff, di era 1980-an untuk mengecoh Hummels dan kiper kawakan, Manuel Neuer. Mane lagi-lagi unjuk nyali di hadapan bek-bek jangkung tuan rumah lewat sundulan kepalanya yang berbuah tambahan gol di menit ke-84.
Menurut Klopp, laga di Muenchen menjadi tonggak baru bagi timnya. “Kemenangan ini adalah sebuah langkah besar. Kami kembali ke lansekap klub-klub papan atas Eropa. Ini tempat seharusnya bagi klub seperti Liverpool,” tutur Klopp penuh antusiasme.
Brexit
Liverpool menggenapi kegemilangan tim-tim asal Inggris di Liga Champions musim ini. Dari delapan perempat finalis, empat di antaranya klub Inggris. Selain The Reds, mereka adalah Manchester City, Manchester United, dan Tottenham Hotspur. Ketiganya juga punya kesamaan dengan The Reds. Baik City, MU, maupun Spurs sama-sama tampil berani serta memenangi laga tandang mereka di 16 besar.
Lolosnya empat tim Inggris di delapan besar ini terakhir kali terjadi di musim 2008-2009 silam. Saat itu, Inggris meloloskan satu wakilnya, yaitu MU, ke partai puncak. Capaian itu menjadi angin segar bagi Liga Inggris yang selama ini berada di bawah bayangan dua liga, yaitu Spanyol dan Jerman, dalam hal capaian di Liga Champions.
Dalam satu dekade terakhir, hanya sekali tim asal Inggris, yaitu Chelsea di 2012 yang menjadi juara kompetisi antarklub paling bergengsi di dunia itu. Dari kurun itu, klub Spanyol tujuh kali juara adapun tim Jerman dan Italia masing-masing hanya sekali. “Brexit apanya? Seluruh, yaitu empat tim Inggris, masih di (Liga Champions) Eropa. Mereka belum keluar,” tulis AFP menyindir memanasnya situasi politik ekonomi di Eropa menyusul kasus Brexit atau keluarnya Inggris dari Uni Eropa.
Keberanian memang menjadi karakter khas para perempat-finalis Liga Champions musim ini. Selain keempat klub Inggris itu, mental maju tak gentar dan berani mengambil resiko juga diperlihatkan Juventus. Sempat divonis gagal, satu-satunya wakil Italia tersisa di perempat final itu membalikkan kekalahan 0-2 dari Atletico Madrid. Mereka menang berkat trigol Cristiano Ronaldo di Turin, Rabu dini hari lalu.
Ronaldo memang kebanjiran decak kagum di laga itu. Namun, pujian semestinya juga dialamatkan kepada Pelatih Juve Massimiliano Allegri. Pelatih yang dikenal sangat pragmatis itu berani meninggalkan pakem sepak bola konservatif yang lama melekat di Juve saat ganti menjamu Atletico di Italia. Ia meminta timnya tampil sangat ofensif dan memborbardir lawan dengan operan-operan dari lini sayap.
Taktik ini nyaris tidak pernah dilakukan Juve di era Allegri sebelumnya. Barisan bek sayap Juve seperti Joao Cancelo dan Leonardo Spinazolla tampil agresif menyerang seperti penyerang sayap sehingga memaksa Atletico membentengi pertahanannya sepanjang laga. “Ini adalah penebusan Allegri, pelatih yang jabatannya akhir-akhir ini tengah dirongrong oleh keraguan. Sebelum keberanian itu, Juve tidak pernah membalikkan defifisit dua gol,” tulis Football-Italia.
Nyali besar juga diperlihatkan Ajax, tim bertabur bintang muda yang menyingkirkan Real, pekan lalu. Menjelang undian perempat final Jumat malam ini, kapten Ajax Matthijs de Ligt, berkata, timnya tidak akan memilih-milih lawan. Ia tidak peduli timnya bakal bertemu favorit juara, Barcelona, atau barisan tim pemberani seperti Liverpool dan Juve. “Kami harus berupa mati-matian memenangi laga berikutnya, tidak peduli siapa lawannya,” ujarnya. (AFP)