Pemantauan dan Penyajian Data Kualitas Udara Perlu Diperbaiki
Oleh
Emilius Caesar Alexey
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perwakilan organisasi masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta atau Ibukota mendesak pemerintah memperbaiki pemantauan dan penyajian data kualitas udara, terutama di kota metropolitan seperti Jakarta. Perbaikan dinilai akan meningkatkan kesadaran dan antisipasi masyarakat terhadap kualitas udara yang tidak sehat.
Anggota Gerakan Ibukota Bondan Andriyanu, dihubungi dari Jakarta, Jumat (15/3/2019), mengatakan, jumlah stasiun pemantau yang bisa mendeteksi partikel debu halus berukuran kurang dari 2,5 mikron (PM 2,5) masih terbatas. Di Jakarta, sejauh ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru memiliki satu stasiun pemantau PM 2,5, yang dipasang di kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta Pusat.
“Untuk bisa memantau kondisi udara di Jakarta, setidaknya butuh 20 stasiun pemantau. Penempatannya harus mewakili karakter lokasi, misalnya perumahan, perkantoran, industri, ruang terbuka hijau, dan jalan raya,” kata Bondan, yang juga Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
Selain itu, penyajian data kualitas udara juga perlu diperbaiki. Menurut Bondan, KLHK hanya menyajikan data kualitas udara, tetapi tidak diikuti dengan peringatan antisipasi bagi masyarakat. KLHK semestinya berkoordinasi dengan dinas dan kementerian lain sehingga tidak terputus pada sekadar memaparkan data.
Bondan pun mengapresiasi upaya KLHK yang segera menambah 13 stasiun pemantau kualitas udara pada 2019 di 13 kota, termasuk di Depok dan Bekasi. Secara nasional, KLHK telah memiliki 14 stasiun pemantau. Dia berharap ke depannya semakin banyak stasiun pemantau yang akan dibangun.
Anggota Gerakan Ibukota lainnya, Khalisah Khalid, dalam siaran pers yang diterima Kompas, mengatakan, masyarakat berhak tahu kualitas udara yang mereka hirup setiap hari. Tidak hanya karena terkait dengan risiko yang harus dirasakan oleh masyarakat, khususnya kelompok rentan, tetapi karena memang menjadi hak warga negara.
“Perlu dipahami bahwa hak atas informasi adalah bagian dari pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat dan sudah menjadi kewajiban konstitusional negara,” ujar Khalisah,
Baku mutu
Data KLHK berdasarkan indeks PM 2,5 menyebutkan, selama tahun 2018 hanya terdapat 34 hari dengan kualitas udara kategori “baik”. Sementara itu, 122 hari berkategori “sedang” dan 196 berkategori “tidak sehat”. Sementara itu, pada Januari-Februari 2019, ada 10 hari berkategori ‘baik’, 38 hari ‘sedang’, dan 11 hari ‘tidak sehat’
Adapun, konsentrasi rata-rata tahunan PM 2,5 di Jakarta mencapai 34,57 mikron per meter kubik. Menurut Bondan, angka itu lebih dari dua kali lipat dibandingkan baku mutu yang ditetapkan pemerintah. Standar baku mutu PM 2,5 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 adalah 15 mikron per meter kubik. Artinya, ada indikasi masalah pencemaran serius di Jakarta.
Bondan melanjutkan, data yang dipaparkan KLHK mendukung laporan yang dirilis oleh IQ AirVisual yang bekerja sama dengan Greenpeace Asia Tenggara, yang dipaparkan pekan lalu. Laporan yang memaparkan kualitas udara di kota-kota seluruh dunia itu, Indonesia berada pada peringkat pertama kota terpolusi di Asia Tenggara di atas Hanoi, Vietnam.
Berdasarkan laporan itu, konsentrasi rata-rata tahunan PM 2,5 di Jakarta Selatan mencapai 42,2 mikrogram per meter kubik dan di Jakarta Pusat 37,5 mikron per meter kubik. Angka tersebut mencapai empat kali lipat dibandingkan batas aman tahunan menurut standar WHO, yaitu 10 mikron per meter kubik.
Direktur Jendral Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Karliyansyah dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (12/3/2019), membantah kalau Jakarta merupakan kota terpolusi di Asia Tenggara. Menurut Karliansyah, kualitas udara di Bangkok, Thailand dan Manila, Filipina jauh lebih buruk. Karliansyah mengacu kepada laman aqicn.org, yang pada Selasa kemarin pada pukul 10.00 mencatat, PM 2,5 di Jakarta Pusat 57 mikron per meter kubik, sedangkan di Bangkok dan Manila lebih dari 140 mikron per meter kubik.
“Kita tidak yang paling buruk di Asia Tenggara, masih ada negara lain. Memang sebagian rekaman data tahun 2018 kualitas udara Jakarta tidak sehat, tetapi 50 persen lainnya bagus. Untuk Januari-Februari 2019, lebih baik lagi, yaitu 60 persen bagus. Hanya sebelas hari yang tidak sehat,” kata Karliansyah. Dia menambahkan, sebanyak 60-70 persen polusi udara di Jakarta bersumber dari kendaraan bermotor.
Baca juga : https://kompas.id/baca/utama/2019/03/10/pengakuan-pemerintah-jadi-prasyarat-mengatasi-polusi-udara/
Karliansyah mengakui, rata-rata tahunan PM 2,5 di Jakarta tahun 2018 memang melebihi baku mutu yang ditetapkan WHO. Namun, untuk mencapai target WHO itu, sangat sulit, termasuk oleh negara lain. Dia meyakini tidak ada kota-kota besar di negara lain yang bisa mencapai target itu kecuali kota-kota kecil.
Meskipun demikian, kata Karliansyah, pemerintah tetap berupaya memperbaiki kualitas udara. Beberapa upaya yang dilakukan, antara lain penggunaan bahan bakar standar Euro 4, perluasan penggunaan angkutan umum massal, perluasan hutan kota, dan hari bebas kendaraan bermotor di sejumlah daerah.
Dampak
Jalal, anggota Gerakan Ibukota dari Thamrin School of Climate Change and Sustainability, mengatakan, dunia semakin menyadari bahwa pencemaran udara semakin membahayakan. Studi terbaru menemukan, polusi udara membunuh sembilan juta orang per tahun, termasuk 800.000 orang di Eropa. Polusi udara dapat mengurangi usia harapan hidup rata-rata sebanyak dua tahun.
Baca juga : https://kompas.id/baca/humaniora/kesehatan/2018/10/30/polusi-udara-ancam-dunia/
“Namun, itu hanyalah puncak gunung esnya. Mereka yang harus rawat inap di rumah sakit, harus berobat ke dokter dan rawat jalan, serta yang kehilangan hari bersekolah dan bekerja jumlahnya jauh lebih besar. Hal yang sama pasti terjadi di Jakarta dan ini menyebabkan kerugian kesehatan, kehilangan produktivitas ekonomi, dan masalah kualitas lingkungan yang parah,” kata Jalal.
Sementara itu, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah Ade Imasanti Sapardan dalam diskusi di Jakarta, Minggu (10/3/2019), mengatakan, paparan polusi udara dalam jangka panjang berisiko memicu penyakit gagal jantung. Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Circulation baru-baru ini, orang yang tinggal di lokasi dengan polusi udara tinggi memiliki jantung lebih besar (bengkak) dibandingkan orang yang tinggal di lokasi bebas polusi.
”Pembengkakan itu merupakan gejala awal gagal jantung. Jika terus-menerus menghirup udara yang tidak bagus ini, seseorang berisiko mengalami gagal jantung,” kata dokter yang sehari-hari berpraktik di Rumah Sakit Mayapada ini. Selain gagal jantung, penyakit lain yang bisa dipicu oleh polusi udara antara lain infeksi saluran pernapasan akut, penyakit paru obstruktif kronis, asma, bahkan kanker. (YOLA SASTRA)