Perjuangkan Sawit di Eropa, Indonesia Ambil Langkah Lebih Serius
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Uni Eropa melalui Komisi Eropa menilai kelapa sawit tidak direkomendasikan sebagai bahan bakar nabati. Oleh karenanya, pemerintah Indonesia akan mengambil langkah lebih serius untuk menyikapinya.
Komisi Eropa mengajukan penghapusan minyak kelapa sawit mentah atau CPO sebagai bahan bakar nabati dalam rancangan dokumen Renewable Energy Directive (RED) II atau Arahan Energi Terbarukan II. Imbasnya, negara-negara Uni Eropa berpotensi mengurangi permintaan CPO hingga nol persen pada 2030.
Kondisi ini berpotensi merugikan industri kelapa sawit Indonesia. "Terkait hal ini, kami akan mengambil langkah yang keras dan frontal untuk menghadapi Uni Eropa," ucap Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution di Jakarta, Jumat (15/3/2019).
Jika rancangan dokumen RED II yang tidak merekomendasikan CPO sebagai bahan bakar nabati (BBN) diimplementasikan di negara-negara Uni Eropa, Darmin mengatakan, pemerintah akan membawa Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO. Saat ini, RED II Uni Eropa tersebut belum bisa dibawa ke WTO saat ini karena masih berupa draft.
Dalam waktu dekat, Darmin mengatakan, pihaknya akan ke Uni Eropa bersama dengan Pemerintah Malaysia dan Kolombia dalam kerangka Council of Palm Oil Producing Countries atau CPOPC. Rencananya, kunjungan ke Uni Eropa diadakan pekan kedua April mendatang.
Menurut kajian Komisi Eropa, sebanyak 45 persen dari perluasan lahan untuk produksi CPO sejak 2008 mengakibatkan kerusakan hutan, lahan gambut, dan lahan basah sehingga menghasilkan emisi gas rumah kaca. Jika dibandingkan, minyak kedelai sebesar 8 persen serta minyak bunga matahari dan rapeseed senilai 1 persen.
Angka tersebut merupakan hasil pengolahan dengan metode berbasis alih fungsi lahan secara tidak langsung atau indirect land use change (ILUC). Metode ILUC ini menjadi dasar dalam menggolongkan sumber-sumber bahan bakar nabati ke kelompok yang direkomendasikan dan tidak direkomendasikan.
Terkait ILUC, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menilainya sebagai metode yang masih rancu karena belum ada kesepakatan pemahamannya di tingkat global. "Kami menolaknya dan sudah kami sampaikan saat uji publik dokumen RED II. Jika dokumen ini disetujui, kami akan upayakan perlawanan yang dikoordinasi oleh pemerintah," tuturnya saat dihubungi, Jumat.
Diskriminasi
Menurut Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kanya Lakshmi Sidarta, penggolongan CPO sebagai sumber BBN yang tidak direkomendasikan berdasarkan metode ILUC merupakan tindakan diskriminasi. Padahal, para pelaku usaha dan industri kelapa sawit selalu berupaya menuju pada prinsip-prinsip Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals atau SDG\'s).
Usulan untuk diajukan ke WTO juga dinyatakan oleh Ketua Dewan Masyarakat Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun. "Kami melihat adanya ketidakadilan dalam penerapan metode ILUC. Dasar ilmiah menilai ekspansi lahan sejak tahun 2008 belum jelas. Padahal, ada kemungkinan ekspansi lahan sumber-sumber BBN lainnya dimulai jauh sebelum 2008," tuturnya.
Secara umum, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor Indonesia ke negara-negara Uni Eropa turun 9,63 persen pada Januari - Februari 2019 dibanding tahun sebelumnya. Angkanya menjadi 2,497 miliar dollar Amerika Serikat (AS).
Ekspor minyak kelapa sawit nasional juga mengalami penurunan secara keseluruhan. Hal itu dapat dilihat dari golongan lemak dan minyak hewani/nabati yang turun 15,06 persen pada Januari-Februari 2019 dibanding tahun sebelumnya menjadi 2,941 miliar dollar AS.