Produksi Ponsel Dalam Negeri Butuh Industri Penunjang
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Usaha menambah tingkat komponen dalam negeri produk telepon seluler dinilai perlu dikaji secara mendalam. Selain terkait investasi, upaya meningkatkan tingkat komponen dalam negeri atau TKDN telepon seluler butuh kematangan industri penunjang. Pemerintah berupaya menarik investasi untuk mengurangi komponen impor.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 27 Tahun 2015 tentang Persyaratan Teknis Alat dan Perangkat Telekomunikasi Berbasis Standar Teknologi Long Term Evolution, TKDN perangkat keras 4G LTE berbasis frequency-division duplex (FDE) minimal 30 persen mulai per 1 Januari 2017. Perangkat keras 4G LTE FDE yang dimaksud, misalnya, ponsel pintar.
Tata cara penghitungan nilai TKDN ponsel, komputer genggam, dan sabak tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 65 Tahun 2016 dan revisinya, Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 29 Tahun 2017. Ada tiga skema yang diajukan pemerintah agar produsen bisa memenuhi kewajibannya, yakni skema perangkat keras, skema perangkat lunak, dan skema berbasis nilai investasi.
Mayoritas ponsel pintar, dengan tingkat komponen dalam negeri, dibuat menggunakan metode produksi semi-knock down.
Project Manager TKDN Industri Sarjuni Adicahya, Jumat (14/3/2019), di Jakarta, menceritakan, mayoritas ponsel pintar TKDN dibuat menggunakan metode produksi semi-knock down (SKD). SKD ini dilakukan dengan mengimpor komponen yang sudah dirakit sebagian di negeri asalnya. Sebagai contoh, impor berupa blok mesin ponsel pintar siap pakai yang menyisakan pekerjaan perakitan ke tubuh utama ponsel.
Jumlah produk ponsel pintar yang dibuat dengan metode complete knocked down (CKD) masih minim. CKD diawali dengan merakit komponen-komponen terkecil ke motherboard sebelum akhirnya dimasukkan menjadi blok mesin ponsel pintar yang siap pakai.
Dia menyebutkan, setidaknya baru ada dua produsen mengimplementasikan SKD, yaitu Asus dan Samsung. Itu pun untuk tipe tertentu.
Hingga akhir 2017 terdapat 43 merek produk dari 39 produsen yang diproduksi di Indonesia. Ada yang dikerjakan oleh pabrikan milik sendiri dari produsen. Ada pula yang dibuat di 22 perusahaan manufaktur perakitan mitra produsen.
Di luar Apple, produsen ponsel pintar memilih skema perangkat keras. Skema ini terdiri dari komponen kewajiban 70 persen manufaktur, 20 persen pengembangan, dan 10 persen aplikasi. Ketiga komponen kewajiban itu diturunkan lagi menjadi subkewajiban yang mencakup poin beserta persentase penghitungan.
”Karena memilih skema perangkat keras, para produsen tersebut umumnya lebih aktif berkompromi mengejar poin persentase perhitungan di komponen kewajiban manufaktur. Berdasarkan hasil pemantauan kami, kesulitan produsen adalah mencari komponen yang juga harus diproduksi dalam negeri. Jika ketahuan komponen impor, kami pun mengurangi nilai kewajiban TKDN mereka,” katanya.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), terdapat sekitar 32 kelompok komponen yang dibutuhkan oleh industri ponsel, komputer genggam, dan sabak. Dari jumlah itu, baru sekitar enam kelompok komponen yang diproduksi penuh di dalam negeri. Mereka adalah PCB Assy, battery pack, earphone, battery charger, USB Cable, dan packing box. Adapun contoh kelompok komponen yang masih 100 persen impor adalah connector, front camera, display module, dan memory.
Direktur Industri Elektronika dan Telematika Ditjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kemenperin Janu Suryanto mengatakan, pihaknya tengah mendorong investor komponen untuk masuk ke Indonesia.
”Kami sedang mengejar beberapa produsen semikonduktor dari Taiwan, Korea Selatan, China, dan Jepang agar mau berinvestasi di Indonesia. Tujuannya adalah supaya ketergantungan Indonesia terhadap produk semikonduktor dan cip dapat teratasi,” ujarnya.
Menurut Janu, untuk menjalankan komitmen tersebut, pemerintah butuh kerja keras. Investasi industri komponen menyangkut teknologi, modal, dan tenaga kerja berkualitas.
Agar menarik investor, dia mengemukakan, pemerintah sebenarnya telah memiliki deretan daftar insentif fiskal. Sebagai contoh, fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan.
Meski demikian, upaya membangun industri komponen memerlukan harmonisasi dengan regulasi lain sehingga bukan semata-mata menarik investor komponen.
Salah satu contoh regulasi yang dinilai kurang mendukung ekosistem industri ponsel pintar, komputer jinjing, dan sabak adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 87 Tahun 2015. Peraturan itu dinilai lebih memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada importir untuk menjual barang impor jadi di pasar Indonesia.
Secara terpisah, Eraya Group melalui anak usaha PT Azec Indonesia Management Services mengumumkan kerja sama dengan WPS Office. WPS Office merupakan penyedia perangkat lunak untuk kebutuhan kerja. Melalui kerja sama ini, PT Azec Indonesia Management Services akan berperan sebagai distributor.
Marketing Communications Director Erajaya Group Djatmiko Wardoyo, yang ditemui seusai pengumuman kerja sama, di kawasan SCBD, Jakarta, menjelaskan, segmen pasar utama produk WPS Office di Indonesia adalah pebisnis. Selain perusahaan skala besar, WPS Office juga akan dipasarkan secara bisnis ke bisnis (B2B) ke pelaku UMKM.
WPS Office merupakan salah satu perangkat lunak kebutuhan kerja. Secara global, perangkat lunak ini telah diunduh dua miliar kali, baik oleh konsumen ritel maupun usaha. Empat fitur solusi pentingnya adalah Writer, Presentation, Spreadsheet, dan PDF Converter.
WPS Office dapat digunakan di komputer dengan sistem operasi Windows, Linux, dan Mac. Pengguna ponsel pintar pun bisa mengunduhnya. Menurut rencana, untuk memikat pasar Indonesia, WPS Office akan hadir dalam bahasa Indonesia.