JAKARTA, KOMPAS — Debat ketiga Pilpres 2019 yang akan digelar pada Minggu (17/3/2019) diharapkan tidak hanya mengupas sisi-sisi teknis menejerial dari pendidikan, tetapi mulai masuk ke sisi penguatan ideologi kebangsaan yang dalam dua dekade ini tidak diurus. Kealpaan inilah yang membuat kelompok-kelompok konservatif mudah mengintrusi dunia pendidikan dengan paham, ideologi dan doktrin mereka.
Tema debat pilpres besok berkaitan dengan lima hal, mulai dari pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, sosial, dan kebudayaan. Menurut Direktur Riset Setara Institute Halili, persoalan mendesak yang harus menjadi perhatian para calon wakil presiden dalam debat adalah penguatan basis sosial agar intoleransi, penyebaran hoaks, dan fenomena disintegrasi tidak menjadi kultur yang bersifat laten di masyarakat.
“Ini harus mendapat catatan utama, pendekatan yang perlu dilakukan adalah melalui pendidikan,” kata Halili, Jumat (15/3/2019), di Jakarta.
Halili menyebut masalah intoleransi sebagai salah satu bentuk kemiskinan peradaban yang sangat panjang efeknya jika tidak segera diantisipasi. Menurutnya, pokok persoalan intoleransi terletak pada dimensi struktural di mana elite tidak bisa memberikan harapan besar bahwa intoleransi adalah masalah bersama dengan keberpihakan elite yang semestinya harus jelas.
Masalah intoleransi sebagai salah satu bentuk kemiskinan peradaban yang sangat panjang efeknya jika tidak segera diantisipasi.
Sejak 2016, ekspresi-ekspresi konservatisme keagamaan menguat secara nasional, termasuk mulai masuk ke anak-anak. Riset Setara Institute menunjukkan, ada sekitar 0,3 persen siswa yang terpapar ideologi terorisme.
“Mahasiswa di sebuah universitas di Sumatera menyiapkan dirinya untuk melakukan pengeboman. Keluarga di Surabaya bahkan mempersiapkan aksi pengeboman dengan melibatkan aktor anak-anak. Ini adalah cerita-cerita yang harus direspon secara serius oleh dunia pendidikan kita. Kita abai selama ini, semata-mata pendidikan dipandang sebagai persoalan teknis pedagogis. Ke depan mesti harus dikelola aspek ideologisnya,” kata dia.
Penanaman dan penguatan ideologi nasional melalui dunia pendidikan semakin mendesak. Beberapa poin penting yang mesti muncul dalam debat misalnya bagaimana pemerintah mempersiapkan anggaran pembinaan ideologi? Bagaimana pemerintah mengalokasikan anggaran untuk membangun ketahanan sekolah?
Penanaman dan penguatan ideologi nasional melalui dunia pendidikan semakin mendesak.
Selama ini, anak-anak didik mudah sekali terpapar ideologi radikal. Keberadaan organisasi-organisasi kesiswaan di sekolah ternyata tidak mampu membentengi potensi penyebaran ideologi radikal dan terorisme, dan gerakan anti Pancasila.
“Kita mengurus organisasi kesiswaan di bawah kendali sekolah saja kelabakan. OSIS dan rohis (rohani Islam) menjadi instrumen strategis penyebaran radikalisme di sekolah. Di debat, perbincangan tentang masalah ini harus keluar, termasuk sisi-sisi perubahan manajerial untuk mengurus ideologisasi di lembaga-lembaga pendidikan,” tambah Halili.
Lembaga pendidikan seharusnya jadi etalase besar untuk kebinnekaan Indonesia. Jika lembaga pendidikan gagal menjadi contoh persemaian toleransi, maka kemiskinan peradaban akan semakin menjadi-jadi.
Lembaga pendidikan seharusnya jadi etalase besar untuk kebinnekaan Indonesia.
“Kemiskinan peradaban terjadi ketika kita tidak mampu lagi melihat liyan sebagai bagian dari kekayaan kita. Apabila kita gagal menanamkan kepada anak-anak kita bahwa yang berbeda adalah bagian dari kekayaan kita, maka kita sesungguhnya telah memiskinan mereka secara kultural,” ucapnya.
Beberapa modal positif dan kemajuan besar dalam membangun toleransi sudah mulai bermunculan, salah satunya tampak pada sikap institusional Nahdlatul Ulama yang menganjurkan agar kata ‘kafir’ tidak digunakan untuk melabeli non-muslim dalam ranah sosial dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Langkah ini sejurus dengan upaya Muhammadiyah yang berniat menyebarkan Islam yang mencerahkan dan memobilisasi penyebaran keagamaan yang moderat.
Upaya-upaya untuk mencegah kemiskinan peradaban ini sangat positif dan harus dikembangkan terus-menerus ke depan. Organisasi masyarakat, organisasi agama, dan masyarakat sipil harus berjibaku mendukung, dan tentu saja pemerintah harus mampu mengorkestrasi semuanya agar nantinya toleransi bisa menjadi etika kolektif bersama.
Mesti dijamin
Budayawan Mudji Sutrisno SJ melihat Indonesia sebagai ranah untuk kemajemukan suku dan agama dalam sebuah format negara hukum dan demokratis mesti mendapatkan jaminan yang jelas dari para pimpinan negara. Karena itu, para calon presiden maupun wakil presiden mesti memberikan garis-garis besar haluan negara yang fungsinya menuntun langkah-langkah ke mana bangsa ini, apakah akan beradab atau justru biadab.
“Kita saat ini mengalami keterputusan sejarah kebudayaan, miskin keteladanan, dan ruang-ruang publik kita telah dikotori oleh politik-politik amoral dan omong kosong yang tanpa dasar. Krisis ke depan akan terjadi ketika kita saling tidak percaya. Padahal hidup bersama ini harus dilandasi oleh kepercayaan satu sama lain,” imbuhnya.