Dunia penerbangan dikejutkan dengan kecelakaan pesawat Ethiopian Airlines ET-302 yang baru lepas landas dari Bandara Bolu, Addis Ababa, Ethiopia, menuju Nairobi, Kenya. Semua penumpang dan awaknya tewas. Pesawat yang jatuh itu adalah Boeing B737 MAX 8, seri teranyar keluarga B737.
Pesawat dengan teknologi canggih ini telah mengalami dua kali kecelakaan fatal yang menewaskan semua penumpangnya dalam lima bulan terakhir. Rasa duka dan kehilangan 189 penumpang yang tewas akibat Lion Air JT 610 jatuh pada 29 Oktober 2018 lalu belum sirna.
Diduga, penyebab kecelakaan dua peristiwa itu sama, yakni dari teknologi baru yang diterapkan Boeing Co di pesawat tersebut. Teknologi itu bisa mencegah pesawat kehilangan daya angkat karena hidung pesawat terlalu mendongak ke atas akibat dorongan udara. Tanpa campur tangan pilot, pesawat bisa menurunkan hidungnya sendiri ke posisi yang aman.
Sebenarnya, permasalahan dalam penerapan teknologi baru kerap terjadi. Teknologi harus terus diciptakan agar memberi kemampuan, efisiensi, dan fasilitas yang lebih baik dibandingkan dengan teknologi sebelumnya.
Boeing Co mempromosikan B737 MAX 8 sebagai pesawat yang bisa menghemat bahan bakar hingga 14 persen. Promosi ini menggiurkan karena bahan bakar adalah komponen terbesar dalam biaya operasi. Sejak diluncurkan pada 2017, Boeing sudah menerima pesanan lebih dari 5.000 pesawat dari seluruh dunia.
Boeing memproduksi 52 pesawat setiap bulan dan berencana meningkatkan menjadi 57 unit. Perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat itu ingin memecahkan rekor, yakni mengirim 895-905 pesawat pada tahun ini.
Namun, ambisi Boeing tertahan dua kecelakaan itu. Teknologi baru anti-stall dicurigai sebagai penyebabnya.
Teknologi baru yang bermasalah bukan kali ini terjadi. Tidak hanya di pesawat, di kendaraan lain, seperti mobil, juga kerap terjadi. Pabrik harus menarik ulang semua produknya untuk diperbaiki.
Di dunia penerbangan, pesawat-pesawat baru yang pernah mengalami gangguan pada masa awal antara lain Boeing B747, Airbus A320, A380, dan B787. B787 Dreamliner harus menunda terbang perdana hingga tiga tahun. Pesawat DC10 juga mengalami kecelakaan berulang kali hingga muncul larangan terbang di seluruh dunia. Setelah diperbaiki dan diubah menjadi MD11, pesawat itu jadi favorit dunia. Uniknya, semua produk yang mengalami gangguan pada masa awal kemudian menjadi produk paling laku di kelasnya.
Untuk B737 MAX, Boeing telah memperbaiki perangkat lunak untuk pengatur terbangnya, termasuk memperbaiki manuvering characteristics augmentation system (MCAS), manual operasi, tampilan pilot, dan pelatihan awak. Semua upaya itu sedang dievaluasi Federal Aviation Administration (FAA) selaku otoritas penerbangan Amerika Serikat. FAA akan menyampaikan rekomendasinya pada April mendatang.
Namun, kecelakaan Ethiophian Airlines membuat dunia ragu untuk mengoperasikan B737 MAX. Setiap hari, negara dan maskapai yang melarang pengoperasian B737 MAX semakin banyak, termasuk Indonesia. Bahkan, sejumlah negara melarang wilayah udaranya dilintasi B737 MAX.
Sikap Indonesia dan negara-negara yang melarang pengoperasian B737MAX sudah tepat. Pesawat itu harus dipastikan lebih dulu aman diterbangkan. Harus ada rekomendasi FAA sebagai jaminan pesawat berteknologi mutakhir itu aman diterbangkan.
FAA akhirnya mengeluarkan rekomendasi untuk melarang B737 MAX terbang menyusul larangan yang sama dari Pemerintah AS. Selanjutnya, semua pemangku kepentingan bisa memutuskan langkah yang harus diambil untuk menjamin keselamatan para penumpang. Tindak lanjutnya juga mesti ditentukan.
Apalagi, kepercayaan konsumen penerbangan terhadap 737 MAX tergerus hingga taraf terendah. Kepercayaan dunia bisnis juga merosot tajam, yang terlihat dari harga saham Boeing yang anjlok. (M CLARA WRESTI)