Jeihan Sukmantoro Melintas Tapal Batas
Jeihan menganggap dirinya seperti zombie. Selain tubuhnya yang ringkih, ia juga harus menelan puluhan obat setiap hari. Obat termahal seharga Rp 3 juta, khusus ia konsumsi untuk memelihara ginjal hasil cangkokan dalam tubuhnya, setiap hari. Kondisi itu sudah ia jalani hampir selama 12 tahun.
“Sejauh ini tak ada masalah, ginjal saya bagus. Bahkan saya merasa jauh lebih muda, mungkin karena donornya orang muda,” kata Jeihan Sukmantoro, awal Maret 2019 di studionya di kawasan Pasirlayung, Padasuka, Bandung.
Bukan cuma soal ginjal, beberapa pekan silam, Jeihan harus menjalani operasi kanker getah bening di leher bagian kirinya. “Saya ini zombie, cuma pikiran yang melanglang buana,”katanya. Sebagai zombie, secara fisik, Jeihan merasa sudah “mati”. Hanya karena spirit hidupnya yang menggebu-gebu, ia mampu meneruskan karir kesenimannya, yang sudah berjalan lebih dari 60 tahun.
Sebelum menjalani operasi kanker di Malaysia, Jeihan berpamitan kepada publik seni Indonesia. Saat menggelar pameran Desember 2018 lalu, dalam katalog pameran Jeihan mengucapkan kata pamit. “Ini mungkin jadi pameran tunggal saya yang terakhir,” tulisnya.
Waktu itu, Jeihan telah divonis menderita kanker getah bening stadium lanjut. Ia harus menjalani operasi untuk menyelamatkan jiwanya. “Saya tahu pasti, jarang yang selamat hidup saat menjalani operasi kanker getah bening. Makanya, saya pasrah, terima saja kenyataannya. Jadi saya pamitan…” tutur pelukis yang dikenal dengan mata hitam pada sosok-sosok lukisannya.
Apalagi, katanya, para dokter sebuah rumah sakit di Singapura yang dulu membantu pencangkokan ginjalnya, sudah menyerah. “Tidak ada harapan, kata dokter,” tutur Jeihan. Tetapi ia tidak menyerah, seorang dokter di Selangor, Malaysia, tambahnya, malah melakukan operasi pengambilan kanker getah bening, hanya dalam beberapa jam. “Ini kesempatan hidup saya yang kesekian kalinya,”kata Jeihan.
Saya tahu pasti, jarang yang selamat hidup saat menjalani operasi kanker getah bening. Makanya, saya pasrah, terima saja kenyataannya. Jadi saya pamitan…
Pada usia 81 tahun, sekarang ini, Jeihan Sukmantoro termasuk salah satu pelukis mapan Indonesia. Ia bahkan boleh disebut sebagai perupa elite Tanah Air, yang tetap berkarya pada usia senja. Jeihan termasuk pelukis langka, karena bisa mengerjakan lukisan (bukan sketsa) para modelnya dalam waktu tak lebih dari 10 menit. Di studionya masih terdapat lukisan-lukisan berukuran besar, sampai mencapai 11 meter!
“Itu saya bikin sebelum operasi kanker,”kata pelukis kelahiran Surakarta, 26 September 1938 ini.
Sore akhir Maret 2019 itu, ia sedang kedatangan tamu perempuan. Secara spontan Jeihan meminangnya untuk dilukis. “Saya lukis Anda. Ini akan jadi lukisan pertama saya setelah operasi kanker,” kata Jeihan menggebu-gebu.
Ia kemudian meminta para asistennya menyiapkan kanvas dan kuas, serta cat akrilik, kemudian meminta modelnya untuk duduk di sebuah kursi. Tak lebih dari 10 menit, sebuah lukisan berukuran cukup besar khas Jeihan tersampir di atas sketsel. Perempuan itu duduk berpangku tangan dengan rambut tergerai serta matanya yang hitam. Selalu ada misteri dan itu yang membuat karya-karya Jeihan tetap disukai para kolektor.
Hibah karya
Pada usia belia Jeihan pernah mengalami matisuri. Ia bahkan nyaris dimakamkan oleh orangtuanya. Tetapi tiba-tiba bangkit sebelum benar-benar diusung menuju kuburan. Kemudian 12 tahun lalu, ia menjalani operasi cangkok ginjal di Singapura.
“Waktu itu saya sudah punya uang. Jadi bisa mendapat donor ginjal terbaik, benar-benar identik dengan ginjal saya,” katanya. Ginjal milik Jeihan, katanya, sangat spesifik dan sulit menemukan pendonornya.
“Ketika tiba-tiba ada yang mau donor, saya merasa lagi-lagi diberi kesempatan untuk hidup,” katanya.
Kejadian yang hampir sama kembali terulang dengan kanker getah bening di leher kirinya. Kesempatan hidup yang diberikan Tuhan, kata Jeihan, harus ia pergunakan sebaik mungkin untuk berbuat baik. Sejak beberapa tahun terakhir, Jeihan sudah menghibahkan lebih dari 20 karyanya kepada kedutaan-kedutaan besar Indonesia di luar negeri melalui Departemen Luar Negeri Indonesia.
Ia juga bahkan menghibahkan karya kepada negara-negara sahabat Indonesia seperti Iran dan Irak. Secara komersial, sekadar tahu, karya-karya Jeihan bisa berharga ratusan juta rupiah, bahkan ada yang menyentuh nilai miliaran.
“Semuanya hibah. Saya kerjakan lukisan-lukisan itu sebagai bagian dari cara saya mengucapkan rasa syukur, selalu diberi kesempatan hidup walau tubuh sudah seperti zombie,” ujar suami dari Sri Sunarsih ini.
Selain itu, tahun 2014 Jeihan juga menghibahkan lukisan monumental berjudul “Yang Mulia 6 RI Satu: untuk Ibu Pertiwi”. Lukisan berukuran 3 X 8 meter ini berupa sosok enam presiden yang pernah memimpin bangsa Indonesia. Kini lukisan itu menjadi ikon Balai Kirti, Istana Presiden Bogor sebagai koleksi negara.
Semuanya hibah. Saya kerjakan lukisan-lukisan itu sebagai bagian dari cara saya mengucapkan rasa syukur, selalu diberi kesempatan hidup walau tubuh sudah seperti zombie.
Jeihan sebagaimana tekadnya, akan terus menghibahkan karya-karyanya kepada kedutaan besar Indonesia di seluruh dunia. “Semoga saya masih diberi waktu untuk menuntaskan pekerjaan ini,”katanya menggebu-gebu.
Nama Jeihan mencuat dalam jagat seni rupa Indonesia setelah “berduel”dengan maestro sekelas S Soedjojono dalam satu pameran bertajuk “Temunya 2 Ekspresionis Besar”, 4-11 Agustus 1985 di Hotel Sari Pasific Jakarta. Waktu itu Soedjojono sudah dikenal sebagai kritikus seni lukis yang sangat kritis serta pelukis termasyur Indonesia. Secara berani Jeihan memberi harga karyanya sebesar 50.000 dollar AS (kurs Rp 1.000 per dollar).
Hebatnya karya-karya Jeihan terjual secara gagah berani. Momentum itulah dianggap sebagai cikal-bakal boom seni rupa Indonesia. Sekadar tahu, tahun 1980-an harga lukisan maestro seperti Affandi baru mencapai sekitar Rp 3 juta.
Kini peraih penghargaan Anugerah Budaya Kota Bandung 2009 ini, merasa sudah tiba di ujung perjalanan kesenimannya. Ia ingin menjadikan laku kesenian sebagai jalan menuju pada ke-sufi-an. Puncak dari seni itu puisi, katanya. Puncak puisi adalah filsafat, dan puncak dari filsafat adalah sufi. “Saya tidak butuh apa-apa lagi, tinggal mempersiapkan diri jika tiba-tiba ada panggilan dari Dia Yang Memiliki hidup ini,”kata Jeihan.
Sampai sekarang Jeihan dikenal sebagai seniman yang berani melintas tapal batas. Ia paham artinya mati dan oleh karena itu, ia selalu mempersiapkan diri menghadapinya, termasuk mempersiapkan liang kubur dan nisan di belakang studionya. Sebelum itu benar-benar terjadi, ia ingin hidupnya berarti dengan cara memberi, seikhlas-ikhlasnya.
“Saya berikan semuanya kepada negara, yang selama ini telah memberi hidup kepada rakyat…” katanya. Kami berpisah di ujung senja. Matahari di barat terhalang bangunan Studio Jeihan yang menjulang. Bayang-bayangnya jatuh di halaman, di mana pepohonan memberi rasa teduh. Bandung pun mengambang di ambang petang…
Jeihan Sukmantoro
Lahir : Surakarta, 26 September 1938
Pendidikan:
-Himpunan Budaya Surakarta (BHS)
-Institut Teknologi Bandung (ITB)
Penghargaan:
-Penghargaan Perintis Seni Rupa Jawa Barat 2006
-Penghargaan Anugerah Budaya Kota Bandung 2009