Kendati Surplus, Tetap Perlu Waspada
JAKARTA, KOMPAS — Neraca perdagangan pada Februari 2019 surplus 329,5 juta dollar AS. Sektor nonmigas yang berbalik dari defisit 641,6 juta dollar AS menjadi surplus 793 juta dollar AS pada Februari, menopang kondisi neraca perdagangan.
Pada Februari 2018, neraca perdagangan defisit 52,9 juta dollar AS.
Langkah atau implementasi kebijakan meningkatkan ekspor dan menekan impor perlu lebih dipacu agar neraca perdagangan dapat surplus pada bulan-bulan mendatang.
Tahun lalu, neraca perdagangan hanya surplus pada Maret, Juni, dan September. Adapun bulan-bulan lain defisit, dengan total defisit 2018 sebesar 8,496 miliar dollar AS.
Kendati neraca perdagangan pada Februari berbalik dari Januari yang defisit, kondisi ini tetap mesti diwaspadai. Itu karena neraca perdagangan ini dinilai mencerminkan kondisi Indonesia yang terimpit gejolak ekonomi global dan stagnasi perindustrian domestik.
Nilai ekspor pada Februari 2019 turun 10,03 persen dari Januari. Adapun nilai impor turun lebih dalam, yakni 18,61 persen.
”Situasi dunia masih berubah dan belum pulih. Dampaknya, ekspor RI ke Jepang, Amerika Serikat, dan China negatif,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution saat ditemui di Jakarta, Jumat (15/3/2019).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, ekspor nonmigas RI ke negara-negara tujuan tradisional, seperti AS, China, dan Jepang, pada Februari turun dibandingkan dengan Januari. Ekspor nonmigas RI ke China turun 191 juta dollar AS, sedangkan ke Jepang dan AS turun masing-masing 162 juta dollar AS dan 238 juta dollar AS.
Menurut Kepala BPS Suhariyanto, penurunan ekspor antara lain disebabkan pelambatan pertumbuhan ekonomi global. ”Pertumbuhan ekonomi negara-negara tujuan ekspor tradisional, seperti AS dan China, juga tengah melambat,” katanya dalam jumpa pers.
Sementara Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Onny Widjanarko dalam siaran pers menyoroti sektor migas yang defisit. Defisit sektor migas sebesar 421,9 juta dollar AS pada Januari 2019 semakin dalam pada Februari menjadi 464,1 juta dollar AS.
Diversifikasi
Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global tahun 2019 sebesar 3,5 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan melambat dari 2,9 persen menjadi 2,5 persen dan China dari 6,6 persen menjadi 6,2 persen.
Suhariyanto mengimbau pemerintah untuk mendiversifikasi pasar ekspor. Harapannya, negara-negara tujuan nontradisional menopang ekspor RI ketika pasar tradisional sedang kena turbulensi ekonomi.
Keragaman pasar ekspor juga disoroti pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal. Menurut dia, Indonesia tidak bisa bergantung terus-menerus pada pasar tradisional yang rentan pada gejolak ekonomi global.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Moenardji Soedargo mengatakan, perlu upaya konsisten untuk bernegosiasi dengan pemerintah dan pelaku usaha di negara tujuan ekspor sehingga produk ekspor bisa menembus pasar lebih luas.
Hal serupa disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono. Menurut dia, pemerintah perlu aktif bekerja sama dalam perdagangan dengan negara-negara yang memiliki potensi pasar ekspor.
Menurut Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani, pelaku usaha dan industri membutuhkan dukungan fasilitas dari pemerintah untuk penetrasi pasar-pasar nontradisional. Fasilitas itu dapat berupa pertemuan antarbisnis dan pencarian jalur perdagangan yang efisien secara biaya bagi eksportir Indonesia ke negara-negara tujuan.
Impor pada Februari 2019 merosot dibandingkan dengan Januari 2019. Impor yang anjlok paling dalam adalah bahan baku dan penolong, dari 11,415 miliar dollar AS menjadi 9,006 miliar dollar AS.
Menurut Darmin, kondisi ini patut diwaspadai sebab impor bahan baku dan penolong dibutuhkan untuk aktivitas industri.
”Jangan sampai pertumbuhan ekonomi (nasional) terpengaruh. Kita perlu segera membenahi sektor manufaktur,” ujarnya.
Darmin menambahkan, dampak penurunan impor bahan baku dan penolong terhadap produk domestik bruto nasional tidak serta-merta. Oleh sebab itu, ada kesempatan untuk memperbaiki persoalan tersebut. (FER/JUD)