Lingkungan Berpengaruh Besar Memicu Kanker Kolorektal
Oleh
Pascal S Bin Saju
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lingkungan berpengaruh paling besar dalam memicu kanker kolorektal. Sekitar 90 persen kanker kolorektal dipicu oleh lingkungan, sementara sisanya oleh faktor genetik. Menjalani gaya hidup sehat bisa mengurangi risiko terkena kanker kolorektal.
Ketua Yayasan Kanker Indonesia Aru Wisaksono Sudoyo di Jakarta, Sabtu (16/3/2019), mengatakan, faktor lingkungan yang paling besar pengaruhnya, yaitu pola makan tidak sehat, konsumsi rokok, dan obesitas. Selain itu, faktor lainnya yang berpengaruh adalah infeksi, konsumsi alkohol, dan lainnya.
”Sebanyak 30-35 persen kanker kolorektal dipicu oleh konsumsi makanan tidak sehat, 25-30 persen merokok, dan 10-20 persen obesitas,” kata Aru pada seminar yang diadakan Yayasan Kanker Indonesia dalam peringatan Hari Kanker Kolorektal yang jatuh setiap bulan Maret.
Kanker kolorektal adalah jenis kanker yang tumbuh pada usus besar dan rektum (sebelum anus). Gejala-gejala umum kanker kolorektal antara lain berat badan turun berlebihan, benjolan di perut, pendarahan tidak wajar, nyeri perut berkelanjutan, perubahan pola buang air besar, dan rasa lemas/cepat lelah yang berlebihan. Obesitas, merokok, minum alkohol, diet tidak sehat dan kurangnya olahraga meningkatkan risiko kanker kolorektal.
Data Globocan 2018 menyebutkan, jumlah kasus baru kanker kolorektal di dunia menempati posisi ketiga dari semua jenis kanker dengan 1,8 juta kasus atau 10,2 persen. Sementara itu, posisi pertama dan kedua ditempati kanker paru dan kanker payudara dengan masing-masing 2 juta kasus atau 11,6 persen.
Sementara itu, di Indonesia, kanker kolorektal menduduki peringkat kedua tertinggi menyerang pria setelah kanker paru. Sementara itu, bagi perempuan menduduki peringkat ketiga setelah kanker payudara dan kanker serviks.
Menurut Aru, sebagian besar kanker kolorektal berawal dari polip pada selaput kolon atau rektum. Dalam periode beberapa tahun, sebagian jenis polip bertransformasi menjadi kanker meskipun tidak semua polip dapat menjadi kanker.
Aru menambahkan, karena paling banyak dipengaruhi lingkungan, menjalani gaya hidup sehat menjadi penting untuk mencegah kanker kolorektal. ”Menjaga pola makan sehat, menghindari konsumsi rokok dan alkohol, menjaga berat badan ideal, dan olahraga teratur bisa mengurangi risiko kanker kolorektal hingga 30 persen,” ujarnya.
Dokter spesialis gizi klinik Rumah Sakit Saint Carolus Jakarta, Yohannessa Wulandari, mengatakan, mengonsumsi daging merah dan daging olahan, seperti sosis dan kornet, meningkatkan risiko terkena kanker kolorektal. Konsumsi daging merah berlebihan serta zat kimia dan pengawet pada daging olahan dapat menjadi senyawa karsinogen di dalam tubuh.
”Sementara itu, meningkatkan konsumsi serat sayur dan buah menjadi lima sampai enam porsi sehari bisa mengurangi risiko kanker kolorektal,” kata Yohannessa.
Deteksi dini
Aru menambahkan, kesadaran untuk melakukan deteksi dini tak kalah penting dalam mencegah ataupun menghindari penemuan kanker kolorektal pada stadium lanjut. Salah satu upaya deteksi dini adalah memeriksa kotoran secara rutin setiap tahun.
Menurut Aru, kesadaran masyarakat dalam melakukan deteksi dini masih rendah. Sebagian besar pasien ditemukan pada stadium tiga dan empat. Akibatnya, pengobatan lebih sulit dilakukan, lebih mahal, dan harapan hidup pasien lebih rendah.
”Sembilan dari sepuluh pengidap kanker kolorektal bisa sembuh kalau segera ditemukan dan ditangani,” ujar Aru.
Dokter Spesialis Bedah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Wifanto Saditya Jeo, mengatakan, prosedur bedah menjadi lini pertama dalam pengobatan kanker kolorektal. Bagian usus yang terkena kanker dipotong, kemudian disambungkan lagi.
Selain pembedahan, langkah tambahan lainnya yang dilakukan untuk mengobati kanker kolorektal adalah kemoterapi dan radioterapi. Langkah-langkah tersebut diambil berdasarkan stadium kanker dan dikonsultasikan dengan dokter yang menangani. (YOLA SASTRA)