Pembalakan liar yang marak dan dilakukan secara terbuka di Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Baling tidak lepas dari lemahnya pengawasan aparat negara.
PEKANBARU, KOMPAS— Maraknya pembalakan liar di kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Baling, Kampar Kiri Hulu, Kampar, Riau, diduga dipicu kelemahan dan sikap kolutif aparatur negara. Hal itu tecermin dari aktivitas ilegal yang berlangsung terbuka di dermaga Gema, ibu kota Kecamatan Kampar Kiri Hulu, tanpa penindakan aparat negara.
”Semua orang yang datang ke Gema pasti melihat aktivitas illegal logging yang menghancurkan hutan konservasi di Bukit Rimbang Baling. Di mana kesulitan aparat untuk menghentikannya? Ini adalah modus lama. Aparat lemah. Kalau tidak ada kolusi aparat, tidak mungkin ribuan kayu log dari Sungai Subayang bisa diangkut ke darat,” kata Made Ali, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau, yang dihubungi di Pekanbaru, Jumat (15/3/2019).
Made menambahkan, pembalakan liar adalah titik awal kerusakan hutan. Setelah kayu hutan ditebang, akan masuk kelompok perambah yang akan membakar hutan untuk membuka lahan perkebunan. Pembalakan adalah awal dari bencana asap di masa depan. Presiden semestinya memerintahkan pemecatan aparatur negara yang di daerahnya masih berlangsung pembalakan liar.
Ia juga mempertanyakan komitmen pemerintah tentang legalitas kayu dengan sistem verifikasi dan legalitas kayu (SVLK) mengingat masih banyak kayu yang beredar tanpa legalitas. ”Sebenarnya tidak repot. Aparat hanya perlu mempertanyakan SVLK di-sawmill. Kalau asal kayu tidak jelas, diproses hukum,” katanya.
Kepala Kepolisian Resor Kampar Ajun Komisaris Besar Andri Ananta Yudhistira mengaku sudah melakukan pencegahan dan penegakan hukum peredaran kayu ilegal di wilayahnya. Hanya saja, penegakan hukum dinilai belum menghasilkan efek jera.
Hari Rabu (13/3) dan Kamis (14/3), Kompas menelusuri peredaran kayu ilegal yang berasal dari Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Baling. Kayu dialirkan ke Sungai Subayang sampai ke dermaga Gema untuk kemudian diangkut truk.
Dalam satu hari setidaknya 10 truk mengangkut kayu ilegal dengan volume 10 meter kubik. Seluruh aktivitas itu dapat dilihat siapa saja.
Pada Rabu tengah malam, di simpang tiga Lubuk Agung, Desa Teluk Paman, terlihat tujuh truk kayu yang sedang diparkir di sekitar warung untuk menanti pagi. Truk kayu dari Gema setidaknya harus melewati 2 pos polisi, 2 markas polsek, dan 1 kantor Koramil sebelum sampai di tempat penggergajian kayu ilegal di wilayah Simpang Kambing, Teratak Buluh, Kecamatan Siak Hulu, Kampar.
Secara terpisah, Juru Bicara WWF Riau Syamsidar mengatakan, Suaka Margasatwa Rimbang Baling menjadi target utama pembalakan liar oleh para cukong kayu karena lokasi hutan tidak terlalu jauh dari Pekanbaru.
Rimbang Baling adalah hutan konservasi harimau sumatera seluas 136.000 hektar yang berada di Kabupaten Kampar dan Kuantan Singingi.
”Kami pernah menghitung dari Muara Lembu di Kuantan Singingi sampai ke Teratak Buluh (sekitar 120 kilometer) terdapat 30 sawmill liar. Setengahnya ada di Teratak Buluh di batas Kota Pekanbaru. Hampir semua sawmill itu menerima kayu dari Rimbang Baling,” kata Syamsidar.
Penebangan kayu liar, menurut dia, merupakan dampak ekonomi masyarakat setempat yang memburuk. Dalam dua tahun terakhir, harga karet merosot sehingga warga beralih menjadi penebang liar. Di sisi lain, para cukong kayu dengan gampang menyodorkan uang kepada warga untuk bekal menebang kayu di hutan.
Datuk Alamrai, Ketua Forum Masyarakat Sungai Subayang-Bio yang menempati kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Baling, mengatakan, persoalan pembalakan liar oleh warga desa merupakan masalah kompleks. Penebang umumnya mencari nafkah karena harga karet rendah. Selain itu, warga juga tidak dapat menyadap karet pada musim hujan. (SAH)