Pria Asal Australia Dituduh Membantai di Masjid di Selandia Baru
Oleh
Ayu Pratiwi
·4 menit baca
CHRISTCHURCH, SABTU — Warga Australia berusia 28 tahun, Brenton Harrison Tarrant, dihadirkan di Pengadilan Distrik Christchurch, Selandia Baru, Sabtu (16/3/2019). Ia didakwa telah melakukan pembantaian massal di dua masjid di kota kecil itu, Jumat (15/3/2019) siang waktu setempat.
Serangan dengan senjata semiotomatis itu telah menewaskan 49 orang dan melukai puluhan orang lainnya. Selama persidangan, terdakwa tidak berbicara. Ia memakai baju putih, tidak berkasut, dan dua tangannya diborgol.
Dakwaan sementara kepada Tarrant adalah dia dituduh membunuh seorang pria yang namanya tidak disebutkan hakim. Setelah meninggalkan pengadilan, hakim mengatakan, dakwaan lain akan menyusul. Tarrant ditahan hingga jadwal sidang berikutnya di pengadilan tinggi, 5 April 2019.
Pengacara Tarrant yang ditunjuk pengadilan tidak mengajukan permohonan yang memungkinkan kliennya bisa menunggu sidang lanjutan di rumahnya. Pengacara juga tidak mengajukan permohonan yang memungkinkan nama kliennya tidak diungkap kepada publik.
Media Amerika Serikat, The New York Times, melaporkan, Tarrant adalah seorang pelatih kebugaran pribadi di sebuah tempat gym dan berasal dari kota kecil Grafton, Australia. Ayahnya seorang tukang sampah lokal dan memiliki hobi untuk bisa mengikuti lomba triatlon.
Terpapar dunia maya
Setelah ayahnya meninggal pada 2010, Tarrant keluar dari pekerjaannya dan bepergian ke luar negeri. Beberapa di antaranya adalah Korea Utara, Pakistan, Eropa Timur, dan Perancis. Perjalanan itu menariknya ke dalam dunia maya, di mana ia mengenal lebih jauh mengenai ideologi nasionalis orang putih.
Tarrant juga dilaporkan berinvestasi pada mata uang kripto. Dari investasi itu, ia memperoleh cukup keuntungan untuk bisa bepergian ke luar negeri.
Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern menyebut serangan pada Jumat (14/3/2019) sebagai aksi teroris. Status ancaman keamanan terhadap negara itu ditingkatkan ke level paling tinggi.
Berdasarkan informasi dari media sosialnya, Tarrant diidentifikasi sebagai seseorang yang memperjuangkan ideologi supremasi kulit putih. Ia memublikasikan video live streaming di halaman Facebook-nya yang menunjukkan aksi serangannya di masjid.
Pada Jumat pagi, ia juga mengunggah sebuah manifesto, berupa dokumen setebal 74 halaman dengan judul The Great Replacement yang intinya menunjukkan kebencian terhadap imigran Muslim.
Judul dokumen tersebut serupa dengan teori konspirasi yang berasal dari Perancis, yang meyakini bahwa populasi Eropa bakal bergeser dari negerinya sendiri oleh pendatang. Kelompok imigran ini memiliki tingkat kelahiran yang lebih tinggi dari penduduk lokal.
Sekitar 30 menit setelah menerima laporan atas serangan di dua masjid di Christchurch, polisi menangkap Tarrant saat ia sedang berada di mobil yang dikendarainya. Di dalam mobil itu, ada alat peledak.
Selain Tarrant, ada dua orang yang ditahan polisi. Keterlibatan mereka dalam serangan pada Jumat sedang diselidiki. Semua orang yang ditahan memiliki rekam jejak kriminal atau masuk daftar kriminal Selandia Baru dan Australia.
Larangan senjata
Ardern menambahkan, tersangka utama merupakan pemilik senjata berlnsensi. Ia menggunakan sejumlah senjata dalam serangannya. Dua di antaranya adalah senapan biasa dan dua lainnya senjata semiotomatis.
”Undang-undang senjata kami (Selandia Baru) akan berubah,” kata Ardern sambil menambahkan, larangan penggunaan senjata semiotomatis akan dipertimbangkan.
Polisi menjaga rumah sakit di mana setidaknya 40 korban luka sedang dirawat. Ada 11 di antara mereka yang masih dalam perawatan intensif.
Pemakaman telah dijadwalkan untuk sejumlah korban pada Sabtu ini. Beberapa di antaranya berasal dari luar negeri.
Puluhan orang meletakkan bunga dukacita untuk korban di sekitar Masjid Al Noor dan Linwood. Masjid itu masih dalam proses renovasi setelah ada gempa bumi besar di Christchurch pada 2011. Bencana alam itu menewaskan hampir 200 orang.
Para pemimpin di seluruh dunia menyampaikan dukacita terhadap insiden kemarin dan mengecam keras tindakan itu. Ada pula yang menyinggung mengenai islamofobia atau diskriminasi kepada umat Islam.
”Saya menyalahkan serangan teror yang meningkat ini kepada islamofobia setelah serangan teror nine eleven (di AS, tahun 2001). Sebanyak 1,3 miliar umat Islam disalahkan atas tindakan teror apa pun,” kata Perdana Menteri Pakistan Imran Khan.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengecam serangan itu sebagai pembantaian yang mengerikan. Kepada Trump, Ardern meminta rasa simpati dan cintanya untuk semua komunitas Islam. (REUTERS/AFP)