Rayakan Keragaman, Wariskan Kerukunan
Keragaman seni tradisi bukan sekadar kekayaan budaya. Di dalamnya banyak terdapat pesan leluhur untuk hidup toleran dalam perbedaan. Merayakan keragaman menjadi jembatan mewariskan kerukunan kepada generasi mendatang.
Meski digelar di pinggiran Kota Bandung, Festival Pesona Budaya Bauran Cap Golak tetap ramai. Tak kurang dari 1.000 orang menyaksikannya di Lapangan RW 006 Jati Pasirbiru, Cibiru, Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu (23/2/2019). Ramai dan penuh pesan kebersamaan.
Tahun ini adalah kali ketiga festival ini digelar. Perdana diselenggarakan tahun 2016 dan dipentaskan lagi setahun kemudian. Setiap edisinya punya semangat yang sama, mengombinasikan seni tradisi Sunda dan Tionghoa.
Seni budaya Sunda yang ditampilkan mulai dari reak, badawang, sisingaan, kuda renggong, angklung buncis, hingga benjang helaran rajawali. Sementara seni tradisi Tionghoa diwakili barongsai dan liong.
Tabuhan alat musik perkusi dari setiap seni tradisi membuat suasana semakin semarak. Penonton semakin ramai dan bersemangat. Jalan-jalan sempit menuju Lapangan RW 006 pun dipenuhi pengunjung. Sejumlah pedagang kaki lima juga memanfaatkan keramaian itu untuk menuai keuntungan.
Bukan hanya seni tradisi yang berbaur. Penontonnya juga punya beragam latar belakang. Sejak pagi, penonton berbondong-bondong datang ke lapangan di tengah permukiman padat penduduk itu. Selain dari Kota Bandung, mereka datang dari Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Garut, dan Kota Cimahi.
Bahkan, beberapa pengunjung berasal dari luar Jabar yang sedang berlibur di ”Kota Kembang”. Perbedaan agama dan latar belakang suku tidak menyurutkan semangat merayakan keragaman dengan bahagia.
”Suara tabuhan bergolak membaurkan perbedaan dalam suasana sukacita yang bergejolak. Kebetulan digelar berdekatan dengan Cap Go Meh sehingga dinamakan Cap Golak,” ujar Enjang Dimyati alias Abah Enjum, penggagas festival itu.
Rangkul perbedaan
Berbaurnya seni tradisi tidak untuk berkompetisi, tetapi mensyukuri kemajemukan budaya. Semuanya bisa ditampilkan bersama. Tanpa ego merasa paling sempurna atau menjelekkan kelompok lain.
Setelah ditampilkan secara bersamaan, setiap seni tradisi juga tampil masing-masing. Semuanya mendapat durasi yang sama, sekitar 15 menit. Bahkan, bentuk fisik kesenian pun kadang tak terlalu jauh berbeda. Antara reak dan barongsai, misalnya, menggunakan media yang mirip. Ada manusia di balik topeng serta tubuh reak dan barongsai. Keduanya bergerak mengikuti riuh tetabuhan.
Abah Enjum mengatakan, keresahan akan kondisi sosial masyarakat menjadi salah satu hal yang melandasi lahirnya festival itu. Gesekan antarkelompok masyarakat semakin sering terjadi. Beberapa kasus di antaranya didasari perbedaan pandangan atau pilihan politik.
Yang mengkhawatirkan, perbedaan agama, etnik, dan golongan dibawa-bawa dalam gesekan itu. Jika dibiarkan, gesekan berpotensi menjadi ancaman bagi keragaman masyarakat Indonesia. Nilai-nilai budaya diyakini dapat meredam gesekan itu.
Festival Pesona Budaya Bauran Cap Golak juga bertujuan mengajak masyarakat mengingat kembali nilai-nilai budaya, salah satunya menjunjung semangat kerukunan.
”Perbedaan itu kenyataan. Namun, juga harus diingat, para pendahulu sudah mengajarkan toleransi. Hal itu menjadi pegangan hidup untuk merangkul perbedaan,” ujarnya.
Abah Enjum mencontohkan, etnis Tionghoa telah lama tinggal di Indonesia, termasuk di Jabar. Sejak era pra-kemerdekaan, masyarakat Sunda hidup rukun berdampingan dengan warga Tionghoa.
”Jika leluhur bisa hidup rukun, mengapa kita tidak? Mari ingat lagi arti saling menghargai dan memahami. Jangan saling menghujat,” katanya.
Menjelang siang, gerimis turun. Namun, sebagian besar warga tidak beranjak dari lapangan. Iring-iringan kelompok seniman Gelar Pusaka Wangi dari Cileunyi, Kabupaten Bandung, berjalan menuju lapangan. Mereka menampilkan seni benjang helaran rajawali.
Delapan seniman menggotong tandu yang di atasnya terdapat boneka berbentuk rajawali. Di atas tandu itu berdiri pimpinan Gelar Pusaka Wangi, Aceng Muslimin.
Sambil menggendong tandu, mereka menari berkeliling lapangan. Aceng menjaga keseimbangan agar tidak jatuh. Dia tetap tenang dan mengajak penonton ikut menari.
Tak berhenti di situ, Aceng meminta seorang anggota kelompoknya naik ke pundaknya. Orang itu telungkup dengan menumpukan perutnya ke kepala Aceng. Lantas Aceng berputar sehingga seperti gerakan baling-baling. Aksi itu menuai riuh tepuk tangan penonton.
Tidak mudah melakukan atraksi itu karena Aceng harus menyelaraskan gerakan orang yang menggendong tandu dengan orang yang berputar di atas kepalanya.
”Memang cukup sulit. Namun, semuanya terbayar karena penonton sangat terhibur. Semoga penonton selalu mengingat jika budaya dapat menghadirkan kebahagiaan dan menjaga pentingnya kerja sama,” katanya.
Saling belajar
Dahulu, benjang helaran rajawali sering ditampilkan dalam acara syukuran panen. Tujuannya sebagai ungkapan terima kasih kepada Tuhan dan alam. Dalam acara itu, siapa pun boleh datang. Tidak hanya petani yang sedang panen, tetapi juga warga lain, tanpa membedakan agama, suku, dan profesi.
”Saat hasil panen bagus, petani bahagia. Kebahagiaan itu juga perlu dirasakan warga lain. Jadi, ditampilkan seni pertunjukan yang dapat dinikmati bersama,” kata Aceng.
Berbaurnya seni tradisi itu juga akan memupuk toleransi. Sebab, setiap kelompok etnis saling belajar dan memahami budaya satu sama lain. ”Dalam seni budaya, tak ada eksklusivitas. Kita bisa menampilkan pertunjukan budaya di hadapan warga etnik lain,” imbuhnya.
Festival Pesona Budaya Bauran Cap Golak berakhir Sabtu sore. Penonton pulang membawa kesan beragam. Tidak sedikit yang ingin menyaksikan festival itu lagi tahun depan, di antaranya Minarni (38), warga Kecamatan Andir, Kota Bandung.
Minarni yang bersuku Jawa sudah 10 tahun tinggal di Bandung. Warga di sekitar rumahnya terdiri atas berbagai etnik, seperti Sunda, Jawa, dan Tionghoa. Dia menyaksikan Festival Pesona Budaya Bauran Cap Golak karena sedang berkunjung ke rumah saudaranya di Cibiru.
”Tahun depan mau mengajak anak-anak dan tetangga juga. Lebih seru kalau nonton-nya bareng. Sekaligus bisa memberi pemahaman kepada anak-anak tentang hidup rukun dalam perbedaan,” ujarnya.