JAKARTA, KOMPAS — Indonesia membutuhkan tenaga kerja berkualitas untuk menarik investasi dan mendorong ekspor. Tanpa tenaga kerja yang berkualitas, kemampuan memenangi persaingan global semakin sulit.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik yang dikutip Kompas, Sabtu (16/3/2019), persentase penduduk bekerja menurut tingkat pendidikan per Agustus 2018 didominasi lulusan sekolah dasar ke bawah sebesar 40,69 persen. Sementara penduduk bekerja paling sedikit lulusan sarjana 9,4 persen dan diploma 2,78 persen.
Tingkat pengangguran terbuka dalam setahun terakhir turun dari 5,5 persen pada Agustus 2017 menjadi 5,34 persen pada Agustus 2018. Sebanyak 7 juta orang menganggur per Agustus 2018. Jumlah ini berkurang 40.000 dari Agustus 2018.
Persoalan kualitas tenaga kerja ini kembali disinggung Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam sarasehan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) 2019 di Jakarta, Kamis malam.
Menurut Kalla, potensi sumber daya alam dan jumlah penduduk tak cukup untuk menjadikan Indonesia negara maju. Potensi itu harus dibarengi ketersediaan tenaga kerja berkualitas dan ilmu pengetahuan yang dikelola dengan baik.
”Sistem pendidikan sudah bagus, tetapi (tenaga kerja) butuh pengalaman. Tanpa itu, kita akan sulit menarik investasi dan mendorong ekspor,” kata Kalla.
Indonesia membutuhkan anak-anak muda yang kreatif untuk bisa meningkatkan investasi dan ekspor. Di Asia, lanjut Kalla, mayoritas negara tak lagi membicarakan perihal ekonomi dasar dan isu-isu pangan. Mereka fokus meningkatkan produktivitas generasi muda dan memperluas lapangan kerja agar pertumbuhan ekonomi bisa terakselerasi.
”Kita masih bicara tentang padi, gula, garam, masih bertengkar kadang-kadang,” ucap Kalla.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, alokasi dana tahun ini difokuskan untuk peningkatan daya saing sumber daya manusia. Hal itu tecermin dalam alokasi dana pendidikan sebesar 20 persen dalam belanja APBN 2019.
Belanja negara dalam APBN 2019 dialokasikan melalui belanja pemerintah pusat Rp 1.634,3 triliun serta transfer ke daerah dan dana desa Rp 826,8 triliun. Khusus bidang pendidikan, pemerintah mengalokasikan 20 persen dari APBN 2019, yakni Rp 492,5 triliun.
”Anggaran pendidikan meningkat setiap tahun, yakni dari Rp 406,1 triliun pada 2017 menjadi Rp 432 triliun pada 2018,” ucapnya.
Menurut Sri Mulyani, anggaran pendidikan disalurkan melalui belanja pemerintah pusat Rp 163,1 triliun, transfer ke daerah Rp 308,4 triliun, serta pembiayaan investasi dana pengembangan pendidikan nasional Rp 20 triliun dan dana abadi penelitian Rp 990 miliar.
”Pemerintah terus memantau pelaksanaan dari program pendidikan yang sudah didelegasikan ke pemerintah daerah, ini yang menjadi tantangan besar,” kata Sri Mulyani.
Hilang kesempatan
Dihubungi terpisah, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, berpendapat, Indonesia akan terus kehilangan kesempatan mendapat investasi langsung jika persoalan kualitas tenaga kerja ini tidak segera dibenahi. Hilangnya kesempatan investasi akan berdampak pada kinerja ekspor sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi.
Hilangnya kesempatan investasi akan berdampak pada kinerja ekspor sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi.
Menurut Rusli, pemerintah harus jeli melihat peluang bisnis masa depan dalam perbaikan kualitas tenaga kerja. Misalnya, di era Revolusi Industri 4.0, prospek bisnis yang akan berkembang adalah mobil listrik, bukan lagi mobil uap atau berbahan bakar fokus. Untuk itu, keahlian tenaga kerja mesti di arahkan ke bidang tersebut.
”Banyak investor lari ke negara lain, seperti Singapura, karena kualifikasi tenaga kerja tidak sesuai dengan yang mereka butuhkan,” kata Rusli.
Persoalan kualitas tenaga kerja ini juga berkaitan erat dengan anggaran. Menurut Rusli, triliunan rupiah yang digelontorkan untuk pendidikan termasuk peningkatan kualitas tenaga kerja belum efektif.
Pemerintah hanya fokus pada realisasi anggaran yang sifatnya administratif, bukan hasil. Hal itu tecermin pada penurunan jumlah pengangguran, tetapi tidak dibarengi kualitas tenaga kerja.
”Sejauh ini, belum ada skema laporan pertanggungjawaban untuk menunjukkan hasil dari setiap rupiah yang dikucurkan,” ujar Rusli.