Terorisme Luluh Lantakkan Kehidupan Warga
Ledakan bom bunuh diri yang dilakukan istri Abu Hamzah menghancurkan rumah dan kehidupan lebih dari 100 keluarga di Gang Serumpun, Jalan Cendrawasih, Kota Sibolga, Sumatera Utara.
Hendra Cipta Hutabarat (35) berdiri termenung di depan rumahnya yang luluh lantak, Jumat (15/3/2019). Rumahnya berada persis di samping rumah Abu Hamzah, yang ia kenal dengan nama Upang. Cipta memegang beberapa pakaian anaknya, hanya itu yang bisa ia ambil dari reruntuhan rumahnya.
Rumah Cipta dan lebih dari 100 rumah lain luluh lantak akibat ledakan bom bunuh diri yang dilakukan istri Abu Hamzah yang dikenal warga dengan nama Nita alias Asnita. Polisi menangkap Abu Hamzah dan empat anggota kelompoknya dalam operasi penindakan terorisme di Kota Sibolga, Selasa (12/3).
Nita dan anaknya yang berusia dua tahun dikepung polisi lebih dari 10 jam. Polisi tidak bisa langsung menangkap Nita karena ada bom di dalam rumah itu. Namun, setelah dikepung 10 jam, Nita melakukan bom bunuh diri, Rabu dini hari. Ledakan dahsyat itu pun menghancurkan rumah-rumah warga dan meluluhlantakkan kehidupan warga.
Sejak operasi penangkapan terorisme di Gang Serumpun, Selasa (12/3), warga dievakuasi polisi dari rumahnya untuk menghindari dampak ledakan. Warga meninggalkan rumahnya hanya dengan membawa pakaian yang melekat di tubuh. Mereka tinggal di tenda darurat dan sebagian ke rumah saudara.
Warga baru melihat kembali rumahnya pada Kamis (14/3) malam. Mereka tidak menyangka kerusakan akibat bom itu cukup parah. Pada radius 30 meter dari pusat ledakan, rumah warga rusak total rata dengan tanah. Kerusakan juga cukup parah pada radius 30 hingga 100 meter.
Misdayanti Lase (38), salah satu tetangga Upang, sejak dievakuasi belum mengganti pakaiannya. Hampir tidak ada yang tersisa dari rumahnya yang sudah luluh lantak. Ia mengungsi ke rumah sanak saudara.
Tiga anaknya belum bisa bersekolah karena seragam sekolahnya belum ada. Barang dagangan Misdayanti berupa bahan pokok semuanya rusak. Wardiana (42), tetangga lain, juga mengalami nasib serupa. Anaknya belum bisa sekolah sejak ledakan bom itu.
Suaminya yang merupakan nelayan belum bisa melaut karena harus mengurus rumah mereka yang rusak. Nasib Wardiana kian tak menentu karena tidak punya tabungan apa pun untuk memperbaiki rumahnya.
Suami Mardiana merupakan seorang nelayan yang penghasilannya sekitar Rp 500.000 setiap melaut selama 20 hari. ”Waktu kejadian bom itu, suami saya baru melaut lima hari.
Namun, ia pulang untuk menolong istri dan anak-anaknya meski tidak membawa apa-apa,” katanya. Mardiana kini tinggal di tenda pengungsian. Ia dan keluarganya makan dari bantuan pemerintah.
Para tetangga Nita kini menderita akibat ledakan bom. Mereka yang sebagian besar merupakan nelayan kecil kehilangan rumah dan harta benda. Sudah empat malam mereka tidur di pengungsian dan makan di tenda darurat atau di rumah keluarga. Kehidupan mereka hancur.
Wali Kota Sibolga Syarfi Hutauruk mengatakan, pemerintah saat ini masih menyusun langkah untuk membantu warga membangun kembali rumahnya. Pemerintah Kota Sibolga sedang mendata warga yang terdampak. Pemkot Sibolga hendak memohon bantuan kepada Kementerian Sosial dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme untuk membangun rumah warga.
Merusak kedamaian
Operasi penangkapan terorisme itu sangat mengejutkan warga Sibolga. Para tetangga sama sekali tidak menyangka Upang dan istrinya merupakan anggota kelompok teroris. Upang lahir dan besar di kampung itu dan sehari-hari bekerja sebagai tukang listrik.
Sejak kecil, ia dipanggil Upang karena ia bermarga Simatupang. Dalam tiga tahun belakangan, sejak menikah dengan Nita, warga merasa aneh dengan perubahan sikap Upang.
Upang tidak pernah lagi shalat berjemaah di masjid, jarang bertegur sapa, dan tidak mengikuti undangan pesta ataupun hadir di rumah tetangga atau kerabat yang kemalangan. Praktis, kehidupan keluarga itu relatif tertutup.
Juliani Munthe (35), tetangga Upang, juga terkejut dengan tindakan Nita yang menghancurkan rumah Upang dengan bom. Padahal, itu rumah pusaka dari leluhur Upang. ”Bagi kami, rumah pusaka sangat penting,” kata Juliani.
Kasus Abu Hamzah merupakan kasus terorisme pertama di Sibolga. Apalagi, kota ini terkenal damai dan penuh dengan persaudaraan yang disebut dengan dengan ”Negeri Berbilang Kaum”.
Syarfi meminta agar ledakan itu jangan sampai menghancurkan hidup damai dan rukun yang selama ini dirawat di Sibolga. Ia meminta warga membangun kembali persaudaraan dan mengantisipasi setiap tindakan yang mencurigakan dari warga.