Tua Tetap Setia, Muda Berinovasi
Larangan membakar menyulitkan petani transmigran Kalimantan Tengah karena tanpa membakar mereka sulit mengolah lahan. Akibatnya, sebagian pulang ke daerah asal. Yang bertahan, berjuang untuk lebih peduli lingkungan.
Sujarno (74) menggiling kopi liberika (Coffea liberica) dengan penggiling usang yang ia bikin 15 tahun lalu di Desa Gandang Baru, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Ia generasi pertama warga kampung transmigran di kabupaten itu yang datang bersama ratusan keluarga lain pada 1982.
Pria lanjut usia itu mengingat saat pertama kali menginjakkan kaki di Borneo. Mereka menghadapi lahan gambut, bentukan sisa tumbuhan ribuan tahun lalu, yang setengah membusuk dengan kandungan asam tinggi. ”Selama tiga tahun kami hanya menanam dan makan singkong. Mau menanam padi di rawa yang airnya sangat asam, tidak mungkin. Saya hampir menangis setiap hari. Apalagi istri dan enam anak saya bawa ke sini,” tutur Sujarno di rumahnya di Desa Gandang Barat, Pulang Pisau, Rabu (6/3/2019).
Singkong dibuat bermacam makanan, seperti yang diajarkan orangtua Sujarno saat ia kecil di Jember, Jawa Timur. Selain singkong, pemerintah juga memberikan bekal berupa bibit kopi liberika yang dikirim dari Malang.
”Selama tiga tahun, kami hampir tidak pernah makan nasi. Kami makan tiwul. Pemerintah membantu beras, tetapi tak seberapa,” kata Sujarno.
Untuk penghasilan sampingan, ia menanam 100 pohon kopi di lahan yang dibagikan kepada para transmigran seluas 2,5 hektar. Harga kopi saat itu Rp 8.000 per kilogram. Penghasilan itu cukup untuk memenuhi kebutuhan Sujarno dan keluarganya.
Hingga kini, 37 tahun setelah kedatangan mereka ke Pulang Pisau, generasi pertama transmigran itu bertahan dengan menanam kopi. Harganya kini Rp 20.000 per kg.
Generasi berikutnya mengganti kopi dengan sawit dan karet. Alasannya, harga lebih tinggi. Pohon kopi pun ditebang, lahan baru dibuka dan dibakar. Karet dan sawit ditanam, demikian juga padi.
Bencana asap
Sujarno mengenang, setelah tujuh tahun mereka baru bisa beradaptasi dengan lahan gambut. Mereka membuat parit, menampung air hujan, lalu membakar sisa rumput liar. Padi pun tumbuh, kawasan transmigran itu menjadi salah satu lumbung padi Kalteng.
Menjadi lumbung padi dengan sistem pertanian yang tidak ramah lingkungan menimbulkan dampak negatif. Bencana asap terjadi hampir tiap tahun, paling parah pada 2015.
Sesuai data satuan tugas kebakaran hutan dan lahan, total luas kebakaran hutan dan lahan di Pulang Pisau mencapai 83.965,3 hektar. Total di Kalteng ada 402.799 hektar lahan terbakar, mayoritas lahan gambut. Pulang Pisau merupakan kabupaten dengan kebakaran terluas dan terbanyak.
Setelah kebakaran, pemerintah melarang membuka dan menggarap lahan dengan cara membakar. Di Desa Sidodadi, selama 2015-2017 tak ada petani berladang. Mereka takut ditangkap aparat.
Hal itu terjadi di hampir seluruh wilayah di Kalteng. Petani bertahan dengan hasil panen tahun-tahun sebelumnya. ”Setelah larangan itu kami termotivasi untuk mencari
potensi lain yang bisa dikembangkan untuk menghasilkan uang,” kata Kepala Desa Sidodadi, Kecamatan Maliku, Pulang Pisau, Ali Usni.
Larangan bakar lahan membuat sejumlah warga meninggalkan lokasi. Di Desa Paduran Jaya, Kecamatan Sebangau Kuala, dari 180 keluarga kini tinggal 150 keluarga bertahan.
Pada kondisi demikian, generasi pertama transmigran bertahan menanam kopi dan singkong. Generasi berikutnya galau karena pada saat sama harga karet dan sawit jatuh.
Inovasi
Salah satu di antara generasi kedua transmigran Pulang Pisau adalah Ali yang berasal dari Cirebon, Jawa Barat. Ia dan kepala desa lain di Pulang Pisau sering bertemu, bertukar pikiran dan ide bersama Badan Restorasi Gambut (BRG), serta lembaga Kemitraan.
Ada 47 desa peduli gambut (DPG) di Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas, dilengkapi 47 pendamping atau fasilitator desa. DPG dibentuk untuk merangsang pengelolaan lahan dan hutan tanpa membakar.
Bersama para fasilitator desa, para kepala desa bertukar ide, mewujudkan ide menjadi program serta kebijakan yang bisa berupa peraturan desa atau pengelolaan dana desa.
Di Desa Sidodadi, Ali membudidayakan bawang dayak dan mengkudu. Pasarnya cukup besar, di Kalteng dan luar Kalteng. Bawang dayak diyakini berkhasiat kesehatan.
”Kami bikin produk dalam bentuk teh dan bubuk siap seduh. Harganya Rp 25.000 sampai Rp 50.000 per kemasan,” ujar Ali. Proses pembuatan dilakukan para ibu. Mulai dari memanen, membersihkan, mengeringkan, sampai membuat jadi bubuk atau teh. Dalam sebulan, mereka bisa memproduksi 100 kemasan ukuran 250-500 gram.
Tak hanya produksi bawang dayak dan mengkudu kemasan, mereka juga memanfaatkan kotoran sapi untuk membantu operasional Masyarakat Peduli Api (MPA).
Ketua MPA Sidodadi Ryanto menuturkan, biaya operasional menjadi kendala untuk mencegah kebakaran. Untuk itu, BRG memberikan mesin untuk mengolah kotoran sapi menjadi pupuk. Hasil penjualan pupuk sebagian untuk kas kelompok MPA, sebagian lagi dibagikan untuk para anggota.
Inovasi terus dilakukan guna mempertahankan mata pencarian petani yang mencoba membuka lahan tanpa membakar. Adapun biaya hidup sehari-hari, sekolah anak, dan biaya kesehatan didapat dari hasil beragam inovasi.
(Dionisius Reynaldo Triwibowo)