Seorang pengusaha yang sering berhubungan dengan pemerintah daerah sebuah provinsi menyampaikan kekaguman dan keprihatinannya. Dia menceritakan tindak-tanduk sejumlah orang yang selama ini menjadi tim sukses.
Mereka umumnya kalangan muda, pintar, dan sejumlah di antaranya memiliki gagasan baik. ”Kagum gue dibuatnya. Jago-jago bicara, pinter dan brilian” katanya. Namun, belakangan dia juga mengungkapkan kekecewaannya. ”Eh, ujung-ujungnya tetap aja yang mereka kejar duit.”
Kehadiran tim sukses merupakan hal yang biasa dalam konstelasi politik negeri ini, politik lokal maupun nasional. Mereka bukan orang-orang biasa, tetapi umumnya memang orang-orang yang sepertinya kompeten di bidangnya.
Berbagai strategi dan pemikiran tokoh yang didukungnya banyak yang merupakan buah pikiran mereka. Pada zaman media sosial seperti saat ini, mereka inilah yang menggiring warganet alias netizen untuk ”mengesahkan” atau memperkuat argumentasi-argumentasi sebuah program atau pernyataan tokoh yang didukungnya.
Sering kali di antara para aktivis atau ”pejuang” di kedua pihak saling mempertanyakan mengapa tiba-tiba seseorang bisa berbalik mendukung seseorang yang dulu dia kritik habis-habisan. Atau sebaliknya, menyerang seseorang yang sebelumnya dia dukung sepenuhnya. Tidak ada teman yang abadi di politik, yang ada kepentingan. ”Sudah cape dia berjuang, jadi saatnya mencari jale,” Jale adalah istilah pelesetan dari kata ”jelas” merujuk pada ”kejelasan” atau jatah.
Orang menjadi maklum ketika mereka yang menjadi tim sukses itu kemudian mendapat tempat di lingkungan orang yang dibantu atau didukungnya. Setidaknya mereka akan mendapat tempat sebagai staf ahli ataupun tim pakar.
Ketika Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membentuk Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) melalui Peraturan Gubernur Nomor 187 Tahun 2017 dengan jumlah anggota hingga 73 orang, sulit untuk mengelak jika itu dimaksudkan untuk menempatkan para ahli atau pakar pendukungnya. Mereka disebutkan merupakan para pakar di bidang pengelolaan pesisir, harmonisasi regulasi, pencegahan korupsi, percepatan pembangunan, hingga ekonomi dan lapangan kerja.
Terkait TGUPP itu kembali mencuat lagi setelah Gubernur Anies membuat Pergub Nomor 16 Tahun 2019 untuk menggantikan Pergub No 187/2017. Pergub baru itu mengubah jumlah keanggotaan TGUPP, disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan beban kerja dan kemampuan keuangan daerah. Pihak Dewan mempertanyakan tidak adanya batasan yang jelas mengenai jumlah keanggotaan itu.
Namun, pertanyaan lebih penting disampaikan Ketua Fraksi PDI-P DPRD DKI Gembong Warsono. ”Hingga saat ini saya pun mempertanyakan kinerja TGUPP ini karena belum ada hasil evaluasi yang diterima DPRD,” katanya (Kompas, 12/3/2019).
Hingga saat ini saya pun mempertanyakan kinerja TGUPP ini karena belum ada hasil evaluasi yang diterima DPRD.
Pertanyaan yang wajar sebenarnya. Bukan karena mereka ditunjuk langsung oleh Gubernur, melainkan lebih karena mereka makan gaji dari APBD yang harus dipertanggungjawabkan.