Perang dalam Perang
Marie Colvin ialah sebenar-benarnya jurnalis. Rosamund Pike memerankan wartawati perang ini dengan semangat keberanian yang menyala. ”A Private War” adalah film tentang seorang jurnalis perang yang juga berperang dalam dirinya, dengan garis ujung untuk kemanusiaan.
”Marie Colvin, saya tahu ini sesuatu yang sulit, tetapi tetap berusaha aman dan selamat di sana. Terima kasih telah berbincang dengan kami.”
”Terima kasih, Anderson.”
Begitu penggalan wawancara telepon Colvin dengan Anderson Cooper, wartawan CNN, untuk terakhir kali. Colvin sedang berada di Suriah. Ia melaporkan langsung kepada dunia dengan sambungan telepon dari jantung kota Homs, tempat 28.000 warga terjebak di tengah kecamuk perang.
Saat sejumlah wartawan lain memilih meninggalkan Homs karena keselamatan yang terancam, ia memilih tinggal untuk melaporkan kondisi warga yang terjebak di tengah deru baku tembak, lontaran RPG, dan desingan bom. Saat ”markas” tempat ia tinggal, menulis, dan melaporkan situasi jadi sasaran amukan artileri, ia bersama rekan-rekannya berusaha menyelamatkan diri. Sebuah bom meledak tepat di dekatnya saat ia berlari melintasi jalan.
Pada 22 Februari 2012, dunia kehilangan seorang jurnalis pemberani yang melaporkan kisah tentang kemanusiaan dari kecamuk perang. Adalah Marie Colvin, wartawan dari Sunday Times, Inggris, yang meninggal karena serpihan bom itu.
A Private War adalah film yang menceritakan sosok Marie Colvin. Film berdurasi 110 menit ini disutradarai Matthew Heineman, spesialis dokumenter. Film nomine Oscar yang dirilis November 2018 tersebut baru masuk ke Indonesia pekan ini.
Film dibuka dengan kondisi kota Homs, Suriah, yang serupa kota hantu dengan ledakan dan percikan api di mana-mana. Lalu, cerita kembali ke Sri Lanka, 2001. Colvin membujuk editornya agar ia tetap berangkat ke Sri Lanka, meliput langsung kecamuk perang saudara yang sedang terjadi.
Ia lalu berangkat, melihat langsung kondisi warga, anak-anak dan perempuan, di antara pertarungan pemerintah dengan Macan Tamil. Di situlah ia kehilangan mata kirinya akibat serangan bom.
Dia juga ke Irak, Afghanistan, dan Suriah. Tahun 2010, di Suriah, ia masuk ke terowongan-terowongan rahasia, tempat warga bersembunyi dari ancaman yang datang dari berbagai penjuru. Desing tembakan dan dentuman bom tidak terhindari. Ia menulis tentang kondisi perempuan dan anak-anak yang kebingungan dan frustrasi.
Seorang ibu menceritakan anak lelakinya yang bisu selama perang karena ketakutan. Ibu lain bilang, air susunya tidak bisa keluar karena tertekan penderitaan. Colvin menyebut Homs sebagai kota hantu yang setiap detiknya berisi deru senjata.
Pergulatan hidup
A Private War berlatar perang di sejumlah negara. Namun, lebih dari itu, film ini adalah rangkaian perjalanan penuh bahaya, darah, perjuangan kemanusiaan, dan pertarungan dalam diri Colvin sendiri. Dia sering kali mencumbu bahaya, dan pribadinya ikut terguncang. Konflik psikologis merongrong jiwanya.
Marie Colvin sering mendapat gurauan bahwa ia lebih banyak melihat perang daripada tentara mana pun. Bermacam-macam perang dengan kekejaman beraneka rupa. Tak pelak, hal ini berimbas pada kondisi kejiwaannya.
Ia mengalami gangguan stres pascatrauma (PTSD). Bayangan korban tidak lepas dari kepalanya. Seorang gadis kecil yang memakai anting mutiara dan tertembak di dada seakan selalu ada di mimpi-mimpinya, menunggu ketika ia mulai terlelap.
Alkohol adalah pelarian utama. Ia alkoholik, juga perokok berat. Dengan mata kiri berpenutup, kacamata, rokok di tangan, dan bergelas-gelas alkohol, ia melewati liputan dan menyelesaikan reportase. Setelah beberapa lama mengikuti perang di seantero negara, ia mengikuti saran rekan-rekannya untuk menjalani terapi.
Tidak hanya terkait derita perang, Colvin juga merasakan banyak kegagalan dalam kehidupan pribadinya.
Menjadi jurnalis di medan perang bukan sesuatu yang dibanggakannya tinggi-tinggi. Ia ingin hidup normal seperti saudara-saudaranya, memiliki anak, dan hidup bersama.
Akan tetapi, ia merasa seperti ditakdirkan untuk menjalani peran sebagai jurnalis di garis terdepan, melakukan reportase, menulis kisah, dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Ia merasa terpanggil, lalu hidup di dalamnya.
Colvin yang memulai karier jurnalistiknya di United Press International di Amerika Serikat ini terkenal menguasai isu Timur Tengah. Meliput berbagai perang sejak tahun 1980-an, ia juga bergerak ke Timor Timur saat referendum.
Setelah pindah ke Sunday Times pada 1985, ia adalah orang pertama yang mewawancarai pemimpin Libya, Moammar Khadafy. Dalam film juga ditunjukkan saat ia kembali mewawancarai Khadafy. Jurnalis yang terkenal lugas dan berlidah tajam ini mencecar Khadafy terkait perang di negaranya. Namun, di bagian ini, persona Khadafy seakan hanya tempelan. Narasi yang diungkapkan tidak begitu jelas. Seolah ejekan dan banyolan terhadap salah satu pemimpin negara terlama ini.
Di luar bagian itu, alur cerita berjalan padu padan. Sesekali kamera bergerak diletakkan seperti sekenanya, dengan sudut miring, bergoyang mengikuti saat lari, atau ikut terjatuh. Sutradara Matthew Heineman yang piawai dalam dokumenter memasukkan unsur itu ke dalam film ini.
Rosamund Pike tentu menjadi kunci utama dari narasi besar film biopik ini. Nomine Oscar dalam film Gone Girl ini memiliki suara, intonasi, hingga cara tertawa yang begitu mirip dengan Colvin. Langkah kaki, cara memakai kacamata, juga gesturnya membuat film ini hidup.
Kisah sang jurnalis perang ini sesekali membuat sesak. Beberapa penonton mengelap mata yang basah melihat konflik batin Colvin dan korban perang yang dituliskannya. Tak ketinggalan, semangatnya menjaga kemanusiaan di antara deru perang.