Sebagian pihak mencoba meretas solusi "food waste" dengan mendonasikan makanan yang berlebih dan tak terkonsumsi ke kalangan yang membutuhkan. Ikhtiar lain ada pula yang bersiasat mengurangi sampah dari bahan pangan yang diolah.
Pola mengolah bahan makanan sedemikian rupa agar seminimal mungkin terbuang sia-sia juga dilakukan di restoran Kaum Jakarta, bagian dari Potato Head Family. Jika tidak terpakai pun, sisa-sisa bahan makanan itu diolah untuk kompos atau pakan ternak. Belum lama ini, restoran tersebut juga menjajaki kerja sama pengolahan minyak jelantah untuk biofuel.
Upaya mengolah makanan sisa menjadi kompos juga solusi yang digagas dalam sebuah studi kasus di Kota Bandung, Jawa Barat. Seperti dikutip dari Jurnal Teknik Lingkungan Volume 19 Nomor 1, April 2013 (hal 34-45), potensi mengolah sampah makanan menjadi kompos sudah ada namun terkendala dalam perilaku masyarakat yang belum tertib dalam memilah jenis sampah, antara organik dan anorganik.
Dalam penelitian yang dilakukan Gladys Brigita dan Benno Rahardyan dari Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung itu disebutkan, permasalahan teknis yang mendasar adalah rendahnya kesadaran pihak pengelola restoran dan hotel--sebagai golongan pembuang sisa makanan yang signifikan di Bandung--untuk melakukan pemilahan.
Mencermati potret tersebut upaya yang dilakukan oleh restoran seperti Kaum berikut ini bisa menjadi inspirasi. Ratna Kartadjoemena, Partner & Director Potato Head Family, menuturkan, konsep yang diterapkan dari awal Kaum didirikan adalah zero food waste alias nihil sampah makanan.
“Untuk makanan berlebih ketika ada pesta perkawinan atau kumpul-kumpul perusahaan, kami bekerja sama dengan Food Cycle untuk mendonasikan ke beberapa yayasan penerima. Untuk sisa-sisa makanan, kami bekerja sama dengan Waste4Change untuk pengolahannya,” tuturnya.
Beberapa bahan makanan yang masih bisa digunakan, diolah kembali menjadi menu baru. Jamu, seperti beras kencur, berampas banyak. Ampas itu lalu dikeringkan dan dibikin keripik sebagai teman minum cocktail. Sisa jamu kunyit asam dicampur gula dan wine yang sudah flat rasanya menjadi jamu cocktail.
Nasi sisa semalam dan sisik ikan bisa dijadikan kerupuk. Cangkang kerang bisa ditumbuk lalu dibuat campuran pakan ternak, seperti telah diterapkan di restoran Ijen di Bali, yang juga bagian dari Potato Head Family.
“Daging dan ikan diusahakan agar semua bagiannya bisa dipakai, sampai ke sisik, tulang, kepala, dialokasikan untuk berbagai olahan. Istilahnya head to tail policy,” imbuh Ratna.
Tantangan untuk menjalankan kebijakan zero food waste, menurut dia, adalah mengubah pola pikir orang. Para staf dilatih untuk menyortir sampah. Karyawan juga ditantang untuk kreatif mencari alternatif pemanfaatan bahan-bahan makanan agar tidak banyak bersisa.
Ketika ada tamu restoran memesan banyak menu, pelayan akan mengingatkan mereka untuk memesan dua menu lebih dulu, setelah habis bisa memesan menu berikutnya, agar tidak ada makanan tersisa.
Makanan berlebih ditawarkan untuk dibawa pulang tamu. Jika yang tersisa tinggal sedikit, dibawa pulang juga tidak mungkin, terpaksa memang akan berakhir di tong sampah, untuk selanjutnya diolah kembali.
Makanan berlebih yang terbuang sia-sia memang membuat miris. Namun, gerakan untuk memanfaatkan tanpa sisa, berbagi dan menjembatani distribusi terus tumbuh. Makanan, kue, dan roti bisa tersalurkan ke yang membutuhkan. Seperti kata Mahatma Gandhi, “begitu banyak orang kelaparan di dunia sehingga tuhan tidak mampu mendatangi mereka semua, kecuali dalam bentuk roti.”