Darah seni mengalir di urat nadi Soekarno, sang proklamator kemerdekaan Republik Indonesia. Bakat alami itu terus-menerus menggelora hingga masa-masa puncak kepemimpinannya.
Di tengah pengasingannya di Ende, Nusa Tenggara Timur (1934-1938), Soekarno justru sangat produktif melukis dan menulis. Menurut Djulijati Prambudi, pengajar seni rupa Universitas Negeri Surabaya, di Ende Soekarno sangat produktif melukis. Pengasingan membuat jiwa melankolisnya muncul. Ia suka melukis tema-tema mooi indie, Indonesia yang jelita, dengan corak visual naturalistik.
Di sana, naskah pertama tonil yang ditulis Soekarno berjudul Dokter Syaitan. Menurut penulis otobiografi Soekarno, Cindy Adams, karya itu terinspirasi dari Frankenstein, monster mengerikan yang dijahit dari potongan-potongan mayat. Di dalam karya Soekarno itu terkandung pesan implisit, Indonesia yang sudah mati dapat bangkit kembali.
Gairah seni rupa Soekarno menggelora bersama dengan sikap-sikap politiknya. Pengamat seni rupa Agus Dermawan T dalam buku terbarunya berjudul Dari Lorong-lorong Istana Presiden, Menyimak Rupa Budaya Bangsa-Sejarah, Filosofi, Peristiwa, Opini terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (2019) menyebut sikap patronal Soekarno sudah terbaca sejak 1930-an ketika di Jakarta berdiri Bataviasche Kunstkring (komunitas seni) dan di beberapa kota lainnya.
Gairah seni rupa Soekarno menggelora bersama dengan sikap-sikap politiknya.
”Ia bukannya ikut dalam pergulatan kreatif lembaga seni milik Belanda itu, melainkan justru mengkritik dan bahkan menentang serta menantang aspirasi seni kolonial yang dikumandangkan di dalamnya. Sikap ini menjadi panutan para pelukis Indonesia kala itu, seperti Sudjojono, Agus Djaya, Otto Djaya, dan lain-lain,” kata Agus dalam bukunya.
Sudjojono dengan lukisannya berjudul Kinderen met Kat atau Anak-anak Kucing pernah terpilih sebagai lukisan terbaik Bataviasche Kunstkring pada 1938. Lewat lukisan bertema kehidupan sehari-hari itu, ia mendobrak tren pameran lukisan di Kunstkring yang pada waktu itu cenderung didominasi lukisan-lukisan bercorak mooi indie.
Keberpihakan kepada seniman
Komitmen Soekarno pada seni rupa kembali diwujudkan pada saat pemerintahan Indonesia berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta pada 1947. Tak tanggung-tanggung, para pelukis dan pematung yang awalnya tinggal di Jakarta turut diajak Soekarno bedhol desa ke Yogyakarta bersama semua jajaran kabinet.
Keberpihakannya pada seni rupa benar-benar total. Soekarno bahkan mau meluangkan waktu untuk hadir dalam pameran-pameran seni rupa, mulai dari Pameran Sanggar Pelukis Rakyat, ASRI di Yogyakarta, pameran seni rupa seniman Institut Teknologi Bandung, pameran organisasi seni lukis Tionghoa Yin Hua pimpinan Lee Man Fong, hingga pergelaran-pergelaran seni rupa di Hotel des Indes, Jakarta.
Keberpihakannya pada seni rupa benar-benar total. Soekarno bahkan mau meluangkan waktu untuk hadir dalam pameran-pameran seni rupa.
”Bagi Bung Karno, penciptaan seni sebaris dengan gelora revolusi sehingga harus berjalan seiring. Dalam banyak kesempatan, ia selalu menyambangi studio para pelukis. Ia juga mendorong terbentuknya studio yang menampung dan mempekerjakan para pelukis,” kata Agus.
Peran Soekarno tak terbatas pada merangsang suburnya iklim seni, tetapi lebih dari itu, ia juga menjadi barometer tren seni rupa nasional yang akhirnya menjadi fondasi bagi sejarah seni rupa di Indonesia. Kesukaan Soekarno pada lukisan-lukisan bertema kepahlawanan dan wanita membuka wacana baru apresiasi seni lukis di Indonesia.
Lukisan ”Pangeran Diponegoro” karya Basoeki Abdullah (1949) merupakan salah satu contoh karya legendaris bertema kepahlawanan yang dikoleksi Soekarno untuk Istana. Karena sangat populer dan inspiratif, lukisan ini banyak ditiru dan dikoleksi masyarakat.
Kolektor andal
Karena kecintaannya pada seni, Soekarno selama memimpin RI (1945-1967) gemar mengoleksi karya-karya seni rupa. Tak hanya itu, ia juga terus-menerus menyemangati para perupa untuk membuat karya-karya monumental.
Berdasarkan pendataan Sekretariat Negara pada 2010, ada sekitar 16.000 koleksi benda seni berharga yang tersimpan di Istana Merdeka dan Istana Negara di Jakarta, Istana Bogor, dan Istana Cipanas di Jawa Barat, Istana Tampaksiring di Bali, serta Gedung Agung di Yogyakarta.
Pada masa Soekarno, Istana pernah memiliki visi sebagai ruang budaya dan galeri seni terbesar sebab Istana sebagai ruang politik menjadikan masyarakat berjarak sehingga perlu ada ruang budaya lintas ideologi dan strata.
Pada masa Soekarno, Istana pernah memiliki visi sebagai ruang budaya dan galeri seni terbesar.
Putra Soekarno, Guruh Soekarnoputra, mengatakan, sekitar 90 persen benda-benda seni rupa di Istana Presiden merupakan koleksi Soekarno. Waktu keluarga Soekarno diminta pindah dari Istana, mereka hanya membawa barang seadanya dan lukisan-lukisan koleksi Bung Karno ditinggal di Istana.
Kesetiaan Soekarno mengoleksi karya-karya seni rupa menjadi semacam katalog sejarah seni rupa Indonesia. Dengan ketajaman intuisinya memilih karya-karya seni rupa, Soekarno tidak saja ”mencetak” maestro-maestro seni rupa, tetapi juga mendokumentasikan sejarah seni rupa Indonesia dalam kurun waktu lebih dari dua dasawarsa.