DEPOK, KOMPAS -- Kurangnya kemampuan meremajakan armada serta ketatnya persaingan dengan angkutan daring membuat angkutan umum di Kota Depok, Jawa Barat, mulai ditinggalkan penggunanya. Pemerintah Kota Depok terus mendorong operator angkutan umum untuk meningkatkan kualitas layanan agar kembali menjadi pilihan masyarakat.
Saat ditemui di Balai Kota Depok, Senin (18/3/2019), Kepala Dinas Perhubungan Kota Depok Dadang Wihana menjelaskan, ada beberapa permasalahan utama pada angkutan umum perkotaan Depok. Masalah itu antara lain kurangnya kemampuan operator meremajakan angkutan kota. Hal itu dapat terlihat dari menurunnya jumlah muatan atau load.
"Sampai sekarang load angkutan perkotaan selalu menurun. Saat ini sudah sampai 30 persen. Artinya, angkutan perkotaan yang berkapasitas 9 penumpang rata-rata hanya mampu terisi sekitar 3 penumpang dalam sekali jalan," ujar Dadang.
"Beberapa angkutan perkotaan di Depok ini sudah tua dan tidak terlalu dirawat. Di dalam angkutan perkotaan juga tidak ada fasilitas penunjang seperti pendingin ruangan. Sehingga, angkutan kota dinilai kurang nyaman bagi penumpang," tambah Dadang.
Aziz (25), salah satu sopir angkutan kota D112 trayek Depok - Kampung Rambutan, mengatakan, niat peremajaan angkot terkendala keterbatasan biaya.
"Mau dari mana uang peremajaan angkutannya ? Pendapatan per hari saja belum tentu cukup untuk menutup biaya operasional," ucap Aziz saat ditemui di Terminal Depok.
Aziz bercerita, dalam sehari, dirinya mampu mengumpulkan uang sekitar Rp 150.000 hingga Rp 200.000. Dari jumlah tersebut Aziz harus membagi lagi untuk biaya pembelian bahan bakar minyak sekitar Rp 80.000 dan untuk setoran Rp 20.000 per hari.
Artinya, dirinya bisa membawa pulang penghasilan bersih sebesar Rp 50.000 - Rp 100.000 per hari. Artinya, dalam sebulan dirinya mendapatkan penghasilan sebesar Rp 1,5 juta - Rp 3 juta, menyesuaikan jumlah penumpang.
Bersaing
Di tengah sulitnya mendapatkan pemasukan untuk kegiatan operasional sehari-hari, angkutan Kota Depok harus bersaing dengan angkutan daring. Hal itu dipengaruhi oleh adanya perubahan pola pergerakan masyarakat.
Menurut Dadang, kebanyakan warga Depok memilih untuk naik angkutan daring ketika bepergian. Selain karena lebih cepat dan lebih murah, transportasi daring bisa bergerak kemanapun. Lain dengan angkutan umum yang harus bergerak sesuai trayek.
Firda (19), warga Kelurahan Bakti Jaya, Kecamatan Sukmajaya, lebih senang naik angkutan daring karena dirinya bisa diantar sampai ke depan rumah. Sementara, untuk mengakses angkutan kota, Firda harus berjalan sekitar 700 meter menuju jalan utama yang dilewati angkutan perkotaan.
"Saya sebenarnya mau saja naik angkutan kota, tapi malas karena harus jalan dulu ke jalan besar," ucap Firda.
Cara satu-satunya yang bisa dilakukan agar warga Depok kembali memilih angkutan umum massal menurut Dadang adalah pembenahan infrastruktur angkutan perkotaan. Cara itu dapat dilakukan dengan cara meremajakan armada dan meningkatkan kualitas layanan.
"Intinya kita harus berubah kalau tidak mau tergilas zaman. Nanti kita benahi sama-sama. Sebagai regulator, Dinas Perhubungan Kota Depok akan selalu berusaha untuk menyediakan angkutan kota yang nyaman bagi masyarakat," ucap Dadang.
Pekan lalu, Dadang mengumpulkan sekitar 50 operator angkutan umum untuk membahas rencana pembenahan angkutan umum Kota Depok ke depannya. Sayangnya, Dadang tidak menyebutkan secara rinci mengenai hasil rencana pembenahan tersebut.
Contoh daerah lain
Pengamat transportasi Universitas Soegija Pranata, Semarang, Djoko Setijowarno, menyarankan Pemerintah Kota Depok untuk mencontoh sistem pengelolaan angkutan umum di Jawa Tengah. Selain bisa menarik penumpang, kesejahteraan para sopir bisa ditingkatkan.
Dihubungi terpisah Djoko menjelaskan, dahulu kondisi angkutan perkotaan di Semarang, Jawa Tengah sama dengan kondisi angkutan kota pada umumnya. Namun, sejak 2017, semuanya berubah menjadi lebih baik.
"Kala itu, para operator angkutan umum dikumpulkan dan difasilitasi untuk peremajaan. Mereka juga diberi subsidi agar tidak merugi," ucap Djoko.
Konsep subsidi yang dimaksud oleh Djoko adalah buy the service atau pembelian pelayanan oleh pemerintah kepada pihak operator untuk melayani masyarakat. Pembelian dilakukan dengan perhitungan berdasarkan formulasi biaya pokok yang akan menghasilkan nilai rupiah per kilometer.
Dengan subsidi tersebut, tarif angkutan bisa lebih murah dan kesejahteraan sopir terjamin.
"Di Semarang hal ini termasuk berhasil. Kesejahteraan sopir kini meningkat. Dulu para sopir bekerja setiap hari, dari pagi sampai malam. Sekarang, mereka sudah terjadwal dan mendapat libur dua kali dalam satu minggu," kata Djoko.
Selain itu, pendapatan sopir yang dulu jumlahnya tidak pasti, kini bisa mencapai Rp 3,5 juta per bulan. Pemerintah Kota Depok dapat membuat Unit Pelaksana Teknis yang khusus mengawasi operasional transportasi umum di Depok. Langkah ini secara bertahap dapat meningkatkan kualitas layanan transportasi publik di Kota Depok.