Bripka Widarto dan Ipda Yoyo, Pelindung Nelayan Cirebon
“Kami sudah dibantu mendapatkan asuransi nelayan Rp 10 juta. Tidak ada potongan. Saya mau ngasih (uang) terima kasih kepada Pak Polisi. Tetapi ditolak,” ujar Warni (54), warga Desa Bandengan, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, akhir Januari lalu.
Pak polisi yang dimaksud Warni adalah Brigadir Kepala Widarto (47) dan Inspektur Dua Yoyo (51), anggota Direktorat Kepolisian Perairan Polda Jabar. Baginya, kedua sosok itu membantunya melewati salah satu satu episode terburuk di hidupnya: ditinggal mati suaminya, Sadian.
Suatu hari di bulan Mei 2015, kaki Sadian tertusuk besi sudu (alat tangkap tradisional) yang berkarat. Keinginan untuk melaut pun berakhir di rumah sakit. Selang beberapa hari kemudian, ia meninggalkan Warni dan enam anaknya untuk selama-lamanya. Penopang keluarga telah tiada.
Beruntung, Widarto dan Yoyo telah mendaftarkan Sadian sebagai penerima asuransi nelayan, program Ditpolair Polda Jabar yang bekerja sama dengan sejumlah perusahaan. “Waktu itu, Pak Polisi datang ke rumah dan mengambil berkas. Semuanya mereka yang urus sampai uangnya cair,” ucap Warni yang juga memanfaatkan uang santunan itu sebagai tabungan.
Warni hanyalah satu dari ratusan keluarga nelayan yang menerima langsung manfaat dari “keringat” Widarto dan Yoyo. Keduanya tidak bisa dipisahkan dari asal mula lahirnya asuransi nelayan sejak 2011 tersebut.
Bertugas di Pos Polair Gebang, keduanya kerap berinteraksi dengan nelayan di pantura Cirebon. Mereka pun menjadi tempat aspirasi para nelayan. Problem yang paling sering disampaikan adalah kecelakaan laut.
Nelayan sering kali terpaksa melaut meski cuaca buruk demi menyambung hidup. Ironisnya, mereka nyaris tidak memiliki perlindungan atau jaminan jika hal buruk terjadi. Padahal, kematian nelayan adalah petaka. Jangankan untuk menggelar acara, biaya pemakaman saja sulit dipenuhi.
Tokoh nelayan setempat H Basuni (66) bahkan menyiapkan kain kafan dan papan nisan gratis sejak 2005. Tujuannya, meringankan duka keluarga yang ditinggalkan. Perlengkapan kematian itu disimpan di balai desa dan musalah setempat.
“Kami kaget mengetahui hal itu. Nelayan dan keluarganya harus dilindungi,” ucap Widarto. Keluhan nelayan tersebut lalu disampaikan kepada pimpinan Ditpolair Polda Jabar. Setelah berdiskusi, muncul ide asuransi nelayan.
Widarto dan Yoyo pun melobi Cirebon Power, perusahaan pembangkit listrik tenaga uap di Cirebon, untuk bekerja sama. Gayung bersambut. Perusahaan itu juga punya program tanggung jawab sosial (CSR).
“Waktu itu, saya enggak tahu apa itu CSR. Yang jelas, PLTU sering didemo,” ucapnya tersenyum. Dana itu digunakan untuk membayar premi Rp 50.000 per nelayan per tahun kepada PT Asuransi Jasaraharja Putera.
Jika mengalami kecelakaan saat melaut atau meninggal dunia secara alami, nelayan mendapatkan santunan Rp 1 juta. Jika meninggal dunia ketika melaut, nilai santunannya mencapai Rp 10 juta.
Menolak Uang
Keduanya pun blusukan ke 14 desa dari lima kecamatan di pesisir timur Cirebon untuk mengajak nelayan ikut asuransi. Meskipun tidak dikenakan biaya, nelayan masih ragu dengan asuransi itu. Terdengar pernyataan sinis, “Masa kalau kecelakaan atau meninggal dapat uang”. “Mereka juga sanksi. Polisi kan kerap dipandang negatif?” ucap Widarto.
Saat itu, asuransi nelayan juga masih asing. Mandat asuransi nelayan baru muncul saat diterbitkan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Namun, keduanya tidak menyerah. Mereka mendekati tokoh nelayan di Cirebon. “Kami juga door to door untuk menjelaskan manfaat asuransi ini. Akhirnya, sekitar 80 nelayan mau ikut,” kenang bapak dua anak ini.
Kegigihan keduanya membuat nelayan kian percaya. Apalagi, nelayan tidak hanya didaftarkan, tetapi juga diuruskan hingga klaim asuransi mereka cair. Tidak jarang, keduanya membatalkan waktu kumpul bersama keluarga karena ada klaim yang harus diproses. Bahkan, Widarto maupun Yoyo beberapa kali mengocek dana pribadi untuk membantu nelayan.
Pernah, Widarto harus mengantar jemput nelayan di Ambulu, Losari ke Kota Cirebon yang berjarak lebih dari 25 kilometer untuk mencairkan klaim asuransi Rp 35.000. Jumlah itu tak seberapa dibandingkan uang bensin yang harus ia keluarkan.
“Kami ingin menunjukkan keseriusan melayani nelayan. Kalau enggak diantar, kasihan nelayan enggak tahu caranya. Membantu orang itu jangan tanggung-tanggung,” ujar pria kelahiran Sragen, Jawa Tengah itu.
Bahkan, keduanya pantang menerima uang pemberian nelayan. “Pak Polisi saja enggak terima uang. Berarti kita juga tidak boleh meskipun ada biaya foto copy dan lain-lain,” ujar Widarto menirukan ungkapan sejumlah aparat desa.
Namun, karena dipaksa, keduanya pernah menerima uang dari keluarga nelayan penerima klaim asuransi. “Dia ingin mengganti uang kami Rp 1,5 juta yang dipakai menebus jenazah keluarganya. Kami terima karena tidak enak. Setelah itu, uangnya kami kasih lagi ke anak yatim, anaknya sendiri,” lanjut Yoyo.
Bagi keduanya, membantu nelayan adalah kebahagiaan tersendiri. Hampir tidak ada nelayan di pesisir timur Cirebon yang tidak mengenal mereka. “Waktu mendata untuk asuransi, banyak sekali foto copy KTP yang saya pegang. Saya bisa daftar jadi caleg,” ujar Widarto diiringi tawa.
Kini, tercatat 24.549 nelayan yang ikut serta dalam program asuransi itu. Permintaan kain kafan gratis pun terhenti sejak asuransi bergulir. Kepala Polda Jabar Inspektur Jenderal Agung Budi Maryoto bahkan memperluas program itu hingga Indramayu, Garut, Pangandaran, dan Karawang.
Perantau
Widarto maupun Yoyo awalnya tak menyangka akan bermitra dengan nelayan. Setelah tamat STM 1 Muhammadiyah Sragen, Widarto merantau ke ibu kota. Orangtuanya yang hanya buruh tani dan penjual ayam goreng di Sragen tak mampu menyekolahkannya ke perguruan tinggi.
“Di Jakarta, saya jadi buruh bangunan, pabrik tekstil sampai tukang las. Kebetulan, ada penerimaan polisi pada 1993. Saya ikut. Alhamdulillah, diterima,” ujar bapak dua anak itu. Dari delapan bersaudara, hanya ia yang berprofesi sebagai polisi.
Kisah Yoyo juga tidak jauh beda. Setelah lulus dari sekolah menengah atas di Banjar, Jabar, ia ikut saudaranya merantau ke Jakarta. Di sana, anak petani asal Ciamis, Jabar, ini menggeluti pekerjaan apa saja, yang penting halal.
“Pada 1987, saya lulus tes masuk kepolisian dan langsung ditempatkan di Cirebon,” ucap bapak dua anak ini. Anak pertamanya, Devi Nurkhadisa telah menjai dokter. Sementara anak keduanya, Adam, masih menempuh pendidikan kedokteran di salah satu universitas di Yogyakarta.
Keduanya pun dipertemukan dalam seragam dinas Ditpolair Polda Jabar. Mereka juga berada pada garis terdepan membantu nelayan. Institusi kepolisian mengakui kinerja keduanya. Widarto mendapatkan penghargaan dari Kapolda Jabar atas keberhasilannya membina nelayan pantura Cirebon, tahun 2017. Sementara Yoyo meraih sertifikat prestasi dari Kepala Badan Pemilihara Keamanan Polri Komjen Putut Eko Bayuseno pada 2016.
“Selama masih dinas dan umur panjang, saya masih lanjut melayani nelayan. Salah satu berkahnya, anak saya bisa kuliah,” ucap Yoyo tersenyum.
Bagaimana dengan Widarto? “Memang mau urusin apa lagi? Pensiun pun, kami siap membantu nelayan,” ucapnya menggebu-gebu. Saat libur pun, keduanya masih sempat menyambangi nelayan. Paling tidak minum kopi dan ngobrol bersama nelayan atau membeli ikan asin di muara.
Bripka Widarto
Lahir: Sragen, 5 Mei 1971
Pekerjaan: Anggota Ditpolair Polda Jabar
Ipda Yoyo
Lahir: Ciamis, 18 Juli 1967
Pekerjaan: Anggota Ditpolair Polda Jabar